Kuliah Kebidanan

Penyediakan Materi Ilmu Kebidanan

Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial Ekonomi dan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Diare Akut Pada Balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

sumber  http://www.yayanakhyar.co.nr/

ABSTRACT

THE CORRELATION BETWEEN ENVIRONMENT, SOCIAL-ECONOMY AND KNOWLEDGE AMONG MOTHERS TOWARDS INCIDENS OF ACUTE DIARRHEA ON CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD

IN PEKAN ARBA VILLAGE TEMBILAHAN DISTRICT

OF INDRAGIRI HILIR REGENCY

BY

YANCE WARMAN

Diarrhea is still fully guarded to fell in children under five years old. It’s one of the main factor of death and illness to children in the developed country as Indonesia. Many factors influenced this phenomenon. Some of them were environment, social-economy and well informed mother. The aim of this research was conducted to map the condition and specifically executed in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir Regency.

This research used methode of analitycal cross sectional approach. Population was mother who have children under five with numery 535, but the sample was 230. The instrument of the research was questionnaire. The analysis data used SPSS program.

From this research was founded that percentage of respondent environment condition at 41.7 % was good health. 54.4% was moderate and 3.9% was bad environment. Instead, respondent social-economy can be categorized 3.9% was underprosperous, 79.1% was prosperous level I, 4.8% was prosperous level II, 4.4 % was prosperous level III and 7.8% was upper prosperous. Looking at well informed factor research concludes that 46,5 % was good and 53,5 % was moderate. This research also concludes that Diarrhea percentage of children under five was 53% of sample. The correlation between environment, social economy and knowledge among mothers towards incidens of acute diarrhea on children under five years old indicated significant correlation and positif relation. Overall well informed factor was more significantly influence acute diarrhea rate in Pekan Arba Village-Tembilahan District of Indragiri Hilir Regency compared to other factors.

Keywords: Environment, Social-Economy, Knowledge among Mothers, Incidens of acute diarrhea on children under five years old


ABSTRAK

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN, SOSIAL EKONOMI

DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT PADA BALITA

DI KELURAHAN PEKAN ARBA KECAMATAN TEMBILAHAN KABUPATEN INHIL

OLEH

YANCE WARMAN

Diare merupakan penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita. Diare merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan pada anak di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian diare ini, diantaranya faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL.

Penelitian ini menggunakan metode analitik cross sectional study. Populasi dari penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki balita yang bertempat tinggal di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL. Populasi berjumlah 535, dengan sample berjumlah 230. Instrumen penelitian berupa kuesioner. Pengolahan dan analisis data dengan mengunakan SPSS.

Hasil penelitian didapatkan bahwa kondisi lingkungan responden berada dalam kategori baik 41,7%, cukup 54,4% dan buruk 3,9%. Keadaan sosial ekonomi berada dalam kategori keluarga prasejahtera 3,9%, keluarga sejahtera I 79,1%, keluarga sejahtera II 4,8%, keluarga sejahtera III 4,4% dan keluarga sejahtera III plus 7,8%. Tingkat pengetahuan ibu berada dalam kategori tinggi 46,5%, sedang 53,5%. Angka kejadian diare pada anak balita 53% dari jumlah sample. Korelasi antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita menunjukkan korelasi yang signifikan dan hubungan yang positif, dimana pengetahuan ibu memberikan kontribusi paling kuat dibandingkan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba kecamatan Tembilahan Kabupaten INHIL.

Kata kunci : Lingkungan, Sosial ekonomi, Pengetahuan ibu, Kejadian diare akut pada anak balita

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan pembangunan di suatu negara. Masa perkembangan tercepat dalam kehidupan anak terjadi pada masa balita. Masa balita merupakan masa yang paling rentan terhadap serangan penyakit. Terjadinya gangguan kesehatan pada masa tersebut, dapat berakibat negatif bagi pertumbuhan anak itu seumur hidupnya (Soetjiningsih, 1995, Adzania, 2004). Penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita adalah diare (Sutoto, Indriyono, 1996, Widjaja, 2003)

Angka kejadian diare pada anak di dunia mencapai 1 miliar kasus tiap tahun, dengan korban meninggal sekitar 5 juta jiwa. Statistik di Amerika mencatat tiap tahun terdapat 20-35 juta kasus diare dan 16,5 juta diantaranya adalah balita (Pickering et al, 2004). Angka kematian balita di negara berkembang akibat diare ini sekitar 3,2 juta setiap tahun (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Statistik menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia, duapertiganya adalah balita dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Pickering et al, 2004). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau pada tahun 2003 angka kejadian diare di Provinsi Riau sebanyak 84.634, tahun 2004 sebanyak 87.660 orang dan pada tahun 2005 diare menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit pada pasien rawat inap di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir mencatat bahwa angka kejadian diare di Tembilahan pada tahun 2004 mencapai 904 kasus, pada tahun 2005 sebanyak 725 kasus. Data dari puskesmas Tembilahan diketahui bahwa kejadian diare di Kelurahan Pekan Arba tahun 2004 sebanyak 85 kasus, dan tahun 2005 sebanyak 102 kasus.

Departemen kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa tingkat kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota Assosiation South East Asia Nation (ASEAN). Penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang adalah diare. Sampai saat ini diare tetap sebagai child killer peringkat pertama di Indonesia (Andrianto, 1995, Warouw, 2002).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kejadian diare akut pada balita. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor lingkungan, keadaan sosial ekonomi dan pengetahuan ibu. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang berasal dari luar dan dapat diperbaiki, sehingga dengan memperbaiki faktor resiko tersebut diharapkan dapat menekan angka kesakitan dan kematian diare pada balita (Irianto, 2000, Warouw, 2002, Asnil et al, 2003).

Berdasarkan latar belakang di atas maka saya tertarik mengetahui hubungan antara lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir.

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan INHIL?”

1.3. Hipotesis penelitian

Hipotesis yang diangkat dalam penelitian ini adalah :

a. Adanya hubungan antara keadaan lingkungan, yakni sumber air minum, jamban, perumahan, sampah dan pengelolaan limbah, dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

b. Adanya hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

c. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

1.4. Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan Umum :

Mengetahui hubungan keadaan lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan.

1.4.2 Tujuan Khusus :

Tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain :

1. Mengetahui gambaran keadaan lingkungan masyarakat di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

2. Mengetahui gambaran keadaan sosial ekonomi masyarakat di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

3. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu sehubungan dengan kejadian Diare akut di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

4. Mengetahui hubungan antara lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

5. Mengetahui hubungan antara sosial ekonomi masyarakat terhadap kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

6. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan

7. Mengetahui kontribusi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita di Kelurahan pekan Arba Kecamatan Tembilahan

1.5. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain :

a. Meningkatkan wawasan penulis tentang pengaruh lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita, mampu mengenali permasalahan kesehatan di masyarakat serta dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapat dibangku kuliah ketengah masyarakat.

b. Diharapkan membantu pemerintah setempat dalam usaha penetapan kebijakan, pengembangan program khususnya bidang kesehatan lingkungan, sosial ekonomi dan peningkatan pengetahuan ibu-ibu di bidang kesehatan

c. Menambah referensi perpustakaan di Fakultas Kedokteran Universitas Riau, memberi masukan, saran kepada fakultas mengenai target-target dan kurikulum apa saja yang akan dikembangkan di fakultas untuk menghasilkan lulusan dokter yang siap terjun di masyarakat

d. Menambah wawasan penulis khususnya tentang cara-cara pencegahan dan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian diare akut pada balita.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diare Akut

2.1.1.Definisi Diare

Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat), konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998)

2.1.2. Klasifikasi Diare

Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari diare akut, diare persisten dan diare kronis. (Asnil et al, 2003).

2.1.2.1 Diare Akut

Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu-waktu, berlangsung kurang dari 14 hari, dengan pengeluaran tinja lunak atau cair yang dapat atau tanpa disertai lendir dan darah

2.1.2.2 Diare Persisten

Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.

2.1.2.3 Diare kronis

Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari.

2.1.3. Etiologi

Diare akut disebabkan oleh banyak faktor antara lain infeksi, makanan, efek obat, imunodefisiensi dan keadaan-keadaan tertentu. (Mansjoer et al, 2000, Asnil et al, 2003).

2.1.3.1 Infeksi

Infeksi terdiri dari infeksi enteral dan parenteral. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan dan infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998, Ngastiyah, 2004). Mikroorganisme yang menjadi penyebabnya antara lain Aeromonas, Compylobacter, Clostridiumdifficile, Escherichiacoli, Enterotoxigenic, Enteropathogenic, Shigella, Salmonella, Vibrio cholera, Enteroinvasive (Pickering et al, 2004).

2.1.3.2 Makanan

Diare dapat disebabkan oleh intoksikasi makanan, makanan pedas, makanan yang mengandung bakteri atau toksin. Alergi terhadap makanan tertentu seperti susu sapi, terjadi malabsorbsi karbohidrat, disakarida, lemak, protein, vitamin dan mineral.

2.1.3.3 Imunodefisiensi

Defisiensi imun terutama SigA (Secretory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipat gandanya bakteri, flora usus, jamur, terutama Candida

2.1.3.4 Terapi obat

Obat-obat yang dapat menyebabkan diare diantaranya antibiotik, antasid

2.1.3.5 Keadaan tertentu

Keadaan lain yang menyebabkan seseorang diare seperti gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf.

2.1.4. Epidemiologi

Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada balita dari pada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penyakit ini ditularkan secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang tercemar atau kontak langsung dengan tinja penderita (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Prevalensi diare yang tinggi di negara berkembang merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).

Penurunan angka kejadian diare pada bayi di negara-negara maju, erat kaitannya dengan pemberian ASI, yang sebagian disebabkan oleh kurangnya pencemaran minum anak dan sebagian lagi karena faktor pencegahan imunologik dari ASI (Asnil et al, 2003). Perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan resiko terjadinya diare antara lain, tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).

2.1.5. Patofisiologi

Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni gangguan osmotik dan gangguan sekretorik. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999 ).

2.1.5.1 Gangguan osmotik

Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap. Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air dan elektronik akan pindah dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah, sehingga terjadi pula diare.

2.1.5.2 Gangguan sekretorik

Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan vili gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul diare.

2.1.6. Manifestasi klinis

Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena tercampur empedu, karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja makin lama menjadi asam akibat banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan atau sesudah diare. (Ngastiyah, 1997, Mansjoer et al, 2000, Asnil et al, 2003). Anak-anak yang tidak mendapatkan perawatan yang baik selama diare akan jatuh pada keadaan-keadaan seperti dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-basa, hipoglikemia, gangguan gizi, gangguan sirkulasi. (Asnil et al, 2003)

2.1.6.1 Dehidrasi

Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak daripada pemasukan air. Derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan gejala klinis dan kehilangan berat badan. Derajat dehidrasi menurut kehilangan berat badan, diklasifikasikan menjadi empat, dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 2.1 derajat dehidrasi berdasarkan kehilangan berat badan

Derajat dehidrasi

Penurunan berat badan (%)

Tidak dehidrasi

< 2 ½

Dehidrasi ringan

2 ½ – 5

Dehidrasi sedang

5-10

Dehidrasi berat

10

( Buku ajar diare, 1999 )

Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinisnya dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 2.2 Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinis

Penilaian

A

B

C

Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel« Lesu, tidak sadar«
Mata Normal Cekung Sangat cekung
Air mata Ada Tidak ada Tidak ada
Mulut, lidah Basah Kering Sangat kering
Rasa haus Minum seperti biasa Haus, ingin minum banyak« Malas minum, tidak bisa minum
Periksa:Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat« Kembali sangat lambat
Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/ sedangBila ada 1 tanda ditambah 1/lebih tanda lain Dehidrasi beratBila ada 1 tanda ditambah 1/lebih tanda lain
Terapi Rencana pengobatan A Rencana pengobatan B Rencana pengobatanC

( Buku ajar diare, 1999 )

2.1.6.2 Gangguan keseimbangan asam-basa

Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah metabolik asidosis. Metabolik asidosis ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja, terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan, produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal, pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.

2.1.6.3 Hipoglikemia

Pada anak-anak dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori protein (KKP). Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40 mg % pada bayi dan 50 mg % pada anak-anak. Gejala hipoglikemia tersebut dapat berupa : lemas, apatis , tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma.

2.1.6.4 Gangguan gizi

Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan karena makanan sering dihentikan oleh orang tua. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan pengenceran. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.

2.1.6.5 Gangguan sirkulasi

Gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau shock hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan dalam otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera ditolong penderita dapat meninggal

2.1.7. Penatalaksanaan

2.1.7.1 Prinsip penatalaksanaan diare akut

Menurut Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Prinsip penatalaksanaan diare akut antara lain dengan rehidrasi, nutrisi, medikamentosa (Andrianto, 1995)

2.1.7.1.1 Rehidrasi

Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus sama dengan jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin, pernapasan dan ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masing-masing anak atau golongan umur.

2.1.7.1.2 Nutrisi

Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan efek buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang mempengaruhi keadaan gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai berikut yakni, pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama, makanan cukup energi dan protein, makanan tidak merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektolit sesuai kebutuhan, pemberian vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup. Khusus untuk penderita diare karena malabsorbsi diberikan makanan sesuai dengan penyebabnya, antara lain : Malabsorbsi lemak berikan trigliserida rantai menengah, Intoleransi laktosa berikan makanan rendah atau bebas laktosa, Panmalabsorbsi berikan makanan rendah laktosa, parenteral nutrisi dapat dimulai apabila ternyata dalam 5-7 hari masukan nutrisi tidak optimal (Suandi, 1999)

2.1.7.1.3 Medikamentosa

Antibiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin. Obat-obat anti diare meliputi antimotilitas seperti loperamid, difenoksilat, kodein, opium, adsorben seperti Norit, kaolin, attapulgit. Anti muntah termasuk prometazin dan klorpromazin

2.1.7.2 Rencana pengobatan

Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi menjadi tiga, yakni rencana pengobatan A, B dan C.

2.1.7.2.1 Rencana pengobatan A

Digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi diare di rumah, memberikan terapi awal bila anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti oralit, makanan cair (sup, air tajin), air matang. Gunakan larutan oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam tabel berikut :

Tabel 2.3 Kebutuhan oralit per kelompok umur

Umur

Jumlah oralit yang diberikan tiap BAB

Jumlah oralit yang disediakan di rumah

< 12 bulan

50-100 ml

400 ml/hari ( 2 bungkus)

1-4 tahun

100-200 ml

600-800 ml/hari ( 3-4 bungkus)

> 5 tahun

200-300 ml

800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)

( Buku ajar diare, 1999 )

2.1.7.2.2 Rencana pengobatan B

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang, dengan cara ; dalam 3 jam pertama, berikan 75 ml/KgBB. Berat badan anak tidak diketahui, berikan oralit paling sedikit sesuai tabel berikut:

Tabel 2.4 Jumlah oralit yang diberikan pada 3 jam pertama

Umur < 1 tahun 1-5 tahun > 5 tahun
Jumlah oralit 300 ml 600 ml 1200 ml

( Buku ajar diare, 1999 )

Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu untuk meneruskan ASI. Bayi kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, berikan juga 100-200 ml air masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B atau C untuk melanjutkan pengobatan

2.1.7.2.3 Rencana pengobatan C

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat. Pertama-tama berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai.

2.1.8. Pencegahan Diare

Tindakan dalam pencegahan diare ini antara lain dengan perbaikan keadaan lingkungan, seperti penyediaan sumber air minum yang bersih, penggunaan jamban, pembuangan sampah pada tempatnya, sanitasi perumahan dan penyediaan tempat pembuangan air limbah yang layak. Perbaikan perilaku ibu terhadap balita seperti pemberian ASI sampai anak berumur 2 tahun, perbaikan cara menyapih, kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas, membuang tinja anak pada tempat yang tepat, memberikan imunisasi morbili (Andrianto, 1995). Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat ( Notoadmodjo, 2003)

2.2. Lingkungan

Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat beroperasinya faktor agen, host dan lingkungan. Menurut model roda timbulnya penyakit sangat tergantung dari lingkungan (Mukono, 1995). Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai penyakit tertentu, sehingga untuk memberantas penyakit menular diperlukan upaya perbaikan lingkungan (Trisnanta, 1995).

Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit (Slamet, 1994). Penyakit-penyakit tersebut seperti diare, kholera, campak, demam berdarah dengue, difteri, pertusis, malaria, influenza, hepatitis, tifus dan lain-lain yang dapat ditelusuri determinan-determinan lingkungannya (Noerolandra, 1999).

Masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara yang sedang berkembang adalah penyediaan air minum, tempat pembuangan kotoran, pembuangan sampah, perumahan dan pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003).

2.2.1 Sumber air

Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik yakni, air tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman. Syarat kimia yakni, air tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO2, H2S, NH4. Syarat bakteriologis yakni, air tidak mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari 4 setiap 100 cc air.

Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumber-sumber air ini antara lain : air hujan, mata air, air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai & danau.

2.2.2 Pembuangan kotoran manusia

Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh seperti tinja, air seni dan CO2. Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok karena kotoran manusia adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain : tipus, diare, disentri, kolera, bermacam-macam cacing seperti cacing gelang, kremi, tambang, pita, schistosomiasis. Syarat pembuangan kotoran antara lain, tidak mengotori tanah permukaan, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air tanah, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindung atau tertutup, pembuatannya mudah dan murah (Notoatmodjo, 2003).

Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus, lantai kakus, sebaiknya semen, slab, closet tempat feses masuk, pit sumur penampungan feses atau cubluk, bidang resapan, bangunan jamban ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih. (Notoatmodjo, 2003)

Jenis kakus antara lain (Notoatmodjo, 2003) :

2.2.2.1 Pit privy (cubluk)

Lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 m. Dinding diperkuat dengan batu-bata, hanya dapat dibuat di tanah atau dengan air tanah dalam.

2.2.2.2 Angsatrine

Closetnya berbentuk leher angsa sehingga selalu terisi air. Fungsinya sebagai sumbat sehingga bau busuk tidak keluar.

2.2.2.3 Bored hole latrine

Seperti cubluk, hanya ukurannya kecil, karena untuk sementara. Jika penuh dapat meluap sehingga mengotori air permukaan

2.2.2.4 Overhung latrine

Rumah kakusnya dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan lain-lain. Feses dapat mengotori air permukaan

2.2.2.5 Jamban cempung, kakus ( Pit Latrine )

Jamban cemplung kurang sempurna karena tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga mudah masuk dan berbau, dan jika musim hujan tiba maka jamban akan penuh oleh air. Dalamnya kakus 1,5-3 meter, jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.

2.2.2.6 Jamban empang (fishpond latrine)

Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem ini terjadi daur ulang, yakni tinja dapat dimakan ikan, ikan dimakan orang dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya.

2.2.3 Pembuangan sampah

Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Jenis- jenis sampah antara lain, yakni sampah an-organik, adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik. Sampah organik, adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya : sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan. Cara pengolahan sampah antara lain sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2003).

2.2.3.1 Pengumpulan dan pengangkutan sampah

Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak mudah rusak, harus tertutup rapat, ditempatkan di luar rumah. Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA)

2.2.3.2 Pemusnahan dan pengelolaan sampah

Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar (Inceneration), dijadikan pupuk (Composting)

2.2.4 Perumahan

Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2003).

2.2.4.1 Ventilasi

Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 % dari luas lantai rumah

2.2.4.2 Cahaya

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun malam 100-200 lux.

2.2.4.3 Luas bangunan rumah

Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk tiap orang. Jika luas bangunan tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka menyebabkan kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah satu penghuni menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan kepada anggota keluarga lain.

2.2.4.4 Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat

Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang cukup, pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak

2.2.5 Air limbah

Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri dan pada umumnya mengandung bahan atau zat yang membahayakan. Sesuai dengan zat yang terkandung di dalam air limbah, maka limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain limbah sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya, mengurangi produktivitas manusia, karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003).

Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut diperlukan kondisi, persyaratan dan upaya sehingga air limbah tersebut tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak mencemari permukaan tanah, tidak mencemari air mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit dan vektor, tidak terbuka kena udara luar sehingga baunya tidak mengganggu (Notoatmodjo, 2003).

2.3. Sosial ekonomi masyarakat

Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno, 2004)

Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena kemiskinan mengurangi kapasitas orangtua untuk mendukung perawatan kesehatan yang memadai pada anak, cenderung memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga anak yang miskin memiliki angka kematian dan kesakitan yang lebih tinggi untuk hampir semua penyakit. Frekuensi relatif anak dari orang tua yang berpenghasilan rendah 2 kali lebih besar menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR), 3 kali lebih tinggi resiko imunisasi terlambat dan 4 kali lebih tinggi menyebabkan kematian anak karena penyakit dibanding anak yang orangtuanya berpenghasilan cukup. (Behrman, 1999)

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus memiliki informasi atau peta kemiskinan agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat dalam pengentasan kemiskinan ini, menentukan target penduduk miskin sehingga dapat memperbaiki posisi mereka, dan dapat mengevaluasi program-program yang berkenaan dengan penanggulangan kemiskinan. Ada banyak ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur kemiskinan. Di Indonesia saat ini digunakan dua ukuran kemiskinan, yakni yang dihitung BPS (Badan Pusat Statistik) dan BKKBN (Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional). Informasi kemiskinan yang dihitung BPS merupakan informasi makro sedangkan informasi dari BKKBN bersifat mikro dan sangat cocok untuk operasional lapangan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004)

Pengukuran kemiskinan yang dihitung oleh BPS dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan maupun minuman, yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup layak. Garis kemiskinan sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kalori per orang per hari. Individu dengan pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004).

Pendataan yang dilakukan oleh BKKBN tiap tahun dengan menggunakan kuesioner, diperoleh gambaran status kesejahteraan keluarga. Keluarga di Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang walaupun kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial psikologis belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologisnya, tapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi belum dapat memberi sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, 2004).

2.4. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat seperti dalam tabel berikut :

Tabel 2.5 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif

Domain Definisi
Tahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya
Memahami kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar.
Aplikasi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil.
Analisis kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut.
Sintesis kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
Evaluasi kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek

( Notoatmodjo, 2003)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, dengan pendekatan cross sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir. Hal ini didasari oleh data yang dikumpulkan dari puskesmas setempat bahwa daerah tersebut memiliki prevalensi kejadian diare yang cukup tinggi, dan berdasarkan data dari kelurahan dan pengamatan dari peneliti sendiri diketahui bahwa daerah tersebut memiliki keadaan georafis, sosial ekonomi yang spesifik.

3.3. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – November 2006

3.4. Variabel penelitian

Variabel terikat atau dependen dalam penelitian ini adalah kejadian diare akut pada anak balita. Variabel bebas atau independen yakni lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu.

3.5. Definisi operasional

Definisi operasional pada penelitian ini mencakup lima variabel yakni, diare akut pada anak balita, lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu.

3.5.1 Diare akut pada anak balita adalah kejadian diare yang terjadi secara mendadak, berlangsung kurang dari 14 hari, pada anak balita yang berdomisili di Kelurahan Pekan Arba, diketahui dengan cara wawancara langsung dengan ibu balita.

3.5.2 Lingkungan adalah keadaan lingkungan responden yang dinilai dari keadaan perumahan, sumber air minum, jamban, pengelolaan sampah dan limbah, yang dinilai dengan menggunakan kuesioner yang dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri, dengan skala ukur interval. Terdiri dari keadaan lingkungan baik, cukup dan buruk.

3.5.3 Sosial ekonomi adalah tingkat kesejahteraan responden yang dinilai dengan menggunakan kuesioner resmi yang dikeluarkan oleh BKKBN. Terdiri dari lima tingkatan, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan keluarga sejahtera III plus.

3.5.4 Pengetahuan ibu adalah kumpulan informasi tentang diare yang dipahami oleh ibu-ibu yang memiliki anak balita di Kelurahan Pekan Arba yang diperoleh dari pengalaman dan penginderaan terhadap objek tertentu yang diukur dengan menggunakan kuesioner rancangan penulis dengan skala ukur interval. Terdiri dari tiga tingkat, yakni pengetahuan ibu tinggi, sedang dan rendah.

3.6. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak balita yang tinggal di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan dengan jumlah 535 orang. Jumlah sampel diambil secara proporsional dengan teknik pengambilan sampel secara acak sederhana ( simple random sampling) dengan cara lottery technique, yakni dengan mengundi anggota populasi. (Notoatmodjo, 2003). Cara menentukan ukuran sampel yang praktis adalah dengan formula sebagai berikut : (Notoadmodjo, 2002)

n = N1 + N (d2)

Ket : N= besar populasi

n = besar sampel

d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan ( 95 % )

Sehingga diperoleh jumlah sampel 230 orang. Sampel diambil secara proporsional sesuai dengan persentase ibu yang memiliki anak balita di tiap RWnya. Jumlah sampel dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.1 Distribusi jumlah sampel per RW

Nama RW

Jumlah populasi

Persentase sampel (%)

Jumlah sampel

RW 1

146

27

62

RW 2

225

42

97

RW 3

97

18

41

RW 4

67

13

30

Total

535

100

230

(sumber : data kelurahan Pekan Arba, 2006)

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu balita yang berdomisili di Kelurahan Pekan Arba dan bersedia diwawancarai. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ibu balita yang memiliki balita lebih dari satu.

3.7. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang dirancang oleh penulis sendiri, dan kuesioner dari BKKBN. Kuesioner yang dirancang oleh penulis telah diuji validitas dan reliabilitasnya pada responden yang memiliki kriteria hampir sama dengan ibu-ibu yang memiliki balita di Kelurahan Pekan Arba Tembilahan.

3.8. Cara pengumpulan data

Data dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara dan kuesioner. Pertanyaan bersifat close-ended question, untuk menilai status diare diberi alternatif pertanyaan pernah atau tidak. Penilaian keadaan lingkungan, dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri. Jika keadaan lingkungan baik maka diberi nilai 1, jika sebaliknya diberi nilai 0. Menilai keadaan sosial ekonomi, responden mengisi kolom yang telah tersedia dengan tanda ceklis (√). Pengklasifikasian keadaan sosial ekonomi tergantung dari batas akhir pengisian ceklis oleh responden. Penilaian terhadap pengetahuan Ibu, responden memilih alternatif jawaban berupa benar dan salah. Responden yang mampu menjawab dengan tepat pada pertanyaan diberi nilai 1, jawaban yang tidak tepat akan diberi nilai 0 untuk pertanyaan favorable, pertanyaan unfavorable bernilai sebaliknya.

Berikut ini merupakan blue print dari kuesioner penilaian tingkat pengetahuan ibu terhadap kejadian diare pada anak balita.

Tabel 3.2 Blue print kuesioner pengetahuan ibu tentang kejadian diare

Variabel

Nomor butir item

Jumlah butir item

Favorable Unfavorable

Definisi Diare

1,3

2

3

Etiologi diare

4,5,7

6

4

Penatalaksanaan diare

10,12,13

8,9,11

6

Pencegahan diare

14,15

2

3.9. Pengolahan dan Analisis data

3.9.1 Pengolahan data

Pengolahan data hasil penelitian dilakukan secara manual, dengan tahapan sebagai berikut :

3.9.1.1 Data lingkungan dan pengetahuan ibu

Data lingkungan diperoleh melalui pengisian kuesioner yang dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri. Data pengetahuan ibu diperoleh melalui pengisian kuesioner rancangan penulis. Setelah data terkumpul, dilakukan pengecekan kembali data-data yang sudah diperoleh untuk selanjutnya diklarifikasi, ditabulasi dan dinilai, dengan menggunakan rumus :

Nilai = Jumlah jawaban benar X 100

Skor total

selanjutnya dimasukkan ke dalam skala pengukuran dengan rentang nilai. Rentang nilai dibagi atas tiga dengan skala ukur interval, untuk lingkungan terdiri dari :Baik ( 68-100), Cukup ( 34-67 ), buruk (0-33), sedangkan untuk pengetahuan ibu terbagi atas, tinggi (680-100), sedang (34-67) dan rendah (0-33).

3.9.1.2 Data sosial ekonomi keluarga

Data sosial ekonomi keluarga diperoleh melalui pengisian kuesioner yang sudah baku dari dinas BKKBN kota Tembilahan. Setelah kuesioner terkumpul, dilakukan tahapan sebagai berikut, yakni mengecek kembali data-data yang sudah diperoleh untuk selanjutnya diklarifikasi. Berdasarkan data tersebut maka dapat diklasifikasikan sosial ekonomi keluarga menjadi lima tingkatan yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap 1, keluarga sejahtera tahap 2, keluarga sejahtera tahap 3, keluarga sejahtera tahap 3 plus.

3.9.2 Analisis data

Variabel bebas dan terikat dalam penelitian ini akan dikorelasikan dengan rumus korelasi Pearson (Pearson product moment Correlation) sebagai berikut : (Sugiono, 2005) :

rxy = åxy

Ö (åxy)

dimana :

rxy = Korelasi antara variabel terikat dengan variabel bebas

x = ( Xi – X )

y = ( Yi – Y )

Analisis data ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS pada komputer. Kesimpulan pada uji analisis assosiatif dengan menghitung nilai p. Bila nilai p > 0,05 maka Ht ditolak, artinya tidak ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yang diteliti. Sebaliknya jika p< 0,05 maka Ht diterima, artinya terdapat hubungan antara variabel bebas dan terikat yang diteliti.

Untuk mengetahui kuatnya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikatnya maka digunakan persamaan regresi, korelasi ganda tiga prediktor. Korelasi ganda tiga prediktor digunakan untuk mengetahui kontribusi tiga variabel bebas terhadap variabel terikatnya.

Korelasi ganda tiga prediktor dalam penelitian ini akan dianalisis kontribusi variabel lingkungan, sosial ekonomi, pengetahuan ibu terhadap kejadian diare. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan SPSS yakni uji regresi linear (Dahlan, 2004, Trihendradi, 2004).

Persamaan regresi untuk tiga prediktor adalah (Sugiono, 2005) :

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3

Dimana :

Y = Kejadian diare akut pada anak balita

X1 = Lingkungan

X2 = Pengetahuan ibu

X3 = Sosial ekonomi

Rumus korelasi ganda tiga prediktor (Sugiono, 2005) :

Ry (1,2,3) = b1åX1Y + b2åX2Y + b3åX3Y

åY2

Uji signifikansi koefisien korelasi ganda (Sugiono, 2005) :

F = R2 (N- m – 1)

m ( 1-R2)

dimana :

R = Koefisien korelasi ganda

N = Jumlah anggota sampel

M = Jumlah variabel independen

Kesimpulan uji analisis korelatif menyatakan kemaknaan dan besarnya kekuatan korelasi, sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 3.3 Interpretasi hasil uji hipotesis korelatif

Parameter

Nilai

Interpretasi

Kekuatan korelasi (r)

0,00-0,199

0,20-0,399

0,40-0,599

0,60-0,799

0,80-1,000

Sangat lemah

Lemah

Cukup kuat

Kuat

Sangat kuat

Nilai p

P<0,05

p>0,05

Korelasi bermakna

Korelasi tidak bermakna

( Seri statistik untuk kedokteran dan kesehatan, 2001)


BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran umum daerah penelitian

Kelurahan Pekan Arba yang merupakan satu diantara enam kelurahan yang berada di Kecamatan Tembilahan. Penduduk di wilayah kelurahan ini berjumlah 5712 jiwa, laki-laki 2763 dan perempuan 2949. Jumlah kepala keluarga 1190 dan balita sebanyak 535 orang. Mata pencaharian utama masyarakat adalah wiraswasta, petani dan pegawai negeri sipil. Kualitas angkatan kerja menurut pendidikan yang ditamatkan masih didominasi oleh tamatan SD. Kelurahan ini hanya terdapat satu puskesmas pembantu (pustu) dan enam posyandu sebagai prasarana kesehatan. Kader-kader posyandu adalah ibu-ibu rumah tangga, yang bersedia mengabdikan diri dalam kegiatan tersebut, dipilih oleh masyarakat setempat karena keaktifannya. Pelatihan kader ini dilakukan oleh Pustu secara berkala. Jumlah kader tiap posyandu sebanyak dua orang. Sebagian kawasan di kelurahan ini berada di pusat kota dan sebagian lagi jauh dari pusat kota, dengan kondisi alam yang berawa-rawa, banyak lahan kosong berupa semak-semak dan pepohonan.

4.2. Karakteristik responden

Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan dengan menggunakan kuesioner diperoleh gambaran karakteristik sampel di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir. Responden berjumlah 230 orang. Responden adalah ibu-ibu yang memiliki anak balita berusia 1-5 tahun memiliki kisaran umur 18 tahun terendah dan 49 tahun tertinggi.

Adapun distribusi tingkat pendidikan ibu-ibu yang memiliki balita di Kelurahan Pekan Arba menurut pendidikan yang ditamatkan, seperti tergambar pada gambar berikut :

Gambar 4.1 Distribusi tingkat pendidikan responden

(data primer diolah, 2006)

Berdasarkan gambar 4.1 diatas dapat terlihat bahwa tingkat pendidikan responden didominasi oleh tamatan SD yakni sebesar 53%.

Ditinjau dari jenis pekerjaan responden, dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4.2 Distribusi jenis pekerjaan Responden

(data primer diolah, 2006)

Berdasarkan gambar 4.2 diatas dapat terlihat bahwa jenis pekerjaan responden sebesar 90 % didominasi oleh ibu rumah tangga.

Ditinjau dari jenis pekerjaan suami responden, dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4.3 Distribusi jenis pekerjaan suami responden

(data primer diolah, 2006)

Berdasarkan gambar 4.3 diatas dapat diketahui bahwa pekerjaan suami responden didominasi oleh wiraswasta yakni sebesar 57 %.

Tabel 4.1 Distribusi balita menurut umur

No

Umur (tahun)

frekuensi

Persentase (%)

1

1-2

125

54

2

2-3

44

19

3

3-4

40

17

4

4-5

21

10

Total

230

100

Berdasarkan tabel 4.1 diatas, distribusi umur balita yang paling banyak menderita diare akut di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan adalah umur 1-2 tahun dengan persentase sebesar 54 %.

4.3. Gambaran keadaan lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner dan dikonfirmasi dengan pengamatan penulis sendiri dapat dilihat keadaan lingkungan responden pada tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi keadaan lingkungan responden

No

Penilaian

Range

Frekuensi

Persentase (%)

12

3

Baik

Cukup

Buruk

68-100

34-67

0-33

96

125

9

41,7

54,4

3,9

Total

230

100

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa keadaan lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba terbanyak adalah lingkungan yang cukup yakni sebesar 54,4%. Distribusi frekuensi keadaan lingkungan untuk setiap item pertanyaan akan diperlihatkan pada tabel 4.3 sebagai berikut :

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi keadaan lingkungan responden berdasarkan item pertanyaan dan pengamatan peneliti

No perta-

nyaan

Jumlah responden yang menjawab dengan tepat

Persen-

tase

(%)

Jumlah responden yang menjawab tidak tepat

Persen-

tase

(%)

Total

persen

tase

(%)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

230

230

107

63

161

59

172

204

179

230

206

12

11

100

100

46,5

27,4

70

25,6

74,8

88,7

77,8

100

89,6

5,2

4,8

0

0

123

167

69

171

58

26

51

0

24

218

219

0

0

53,5

72,6

30

74,4

25,2

11,3

22,2

0

10,4

94,8

95,2

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa pertanyaan 1,2 dan 10 semua di jawab dengan tepat oleh responden dengan persentase masing-masing sebesar 100 %. Pertanyaan no 4, 6, 12, 13, berdasarkan pengamatan peneliti adalah pertanyaan yang paling banyak mendapat jawaban yang tidak tepat, yang menggambarkan keadaan lingkungannya.

4.4. Gambaran keadaan sosial ekonomi responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh data yang tercantum pada tabel berikut ini :

Tabel 4.4. Distribusi frekuensi keadaan sosial ekonomi responden

No

Penilaian

Frekuensi

Persentase (%)

1

2

3

4

5

Keluarga PresejahteraKeluarga Sejahtera I

Keluarga Sejahtera II

Keluarga Sejahtera III

Keluarga Sejahtera III +

9

182

11

10

18

3,9

79,1

4,8

4,4

7,8

Total

230

100

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.4 diatas diketahui bahwa keadaan sosial ekonomi responden sebagian besar berada pada tingkat keluarga sejahtera tahap I yakni sebesar 79,1 %.

4.5 Gambaran pengetahuan ibu tentang kejadian diare pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh data yang tercantum pada tabel berikut ini :

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi pengetahuan ibu tentang kejadian diare

No

Penilaian

Range

Frekuensi

Persentase (%)

1

2

3

Tinggi

Sedang

Rendah

68-100

34-67

0-33

107

123

0

46,5

53,5

0

Total

230

100

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.5 diatas, dapat dilihat bahwa responden terbanyak memiliki tingkat pengetahuan sedang yakni sebesar 53,5%. Distribusi frekuensi pengetahuan ibu untuk setiap item pertanyaan akan diperlihatkan pada tabel 4.6 berikut :

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi pengetahuan responden berdasarkan item pertanyaan

No perta-nyaan

Jumlah responden yang menjawab dengan tepat

Persentase (%)

Jumlah responden yang menjawab tidak tepat

Persentase (%)

Total

Persentase (%)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

188

171

210

106

105

91

91

155

152

215

145

164

207

173

105

81,7

74,3

91,3

46,1

45,7

39,6

39,6

67,4

66

93,5

63

71,3

90

75,2

45,6

42

59

20

124

125

139

139

75

78

15

85

66

23

57

125

18,3

25,7

8,7

53,9

54,3

60,4

60,4

32,5

34

6,5

37

28,7

10

24,8

54,4

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa pertanyaan yang paling banyak mendapat jawaban yang benar yakni no 1,2,3,8,9,10,11, 12, 13, 14.

4.6. Gambaran kejadian Diare akut pada balita di Kelurahan pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Berdasarkan hasil pengisian kuesioner diperoleh data seperti tergambar pada diagram berikut :

Gambar 4.4 Distribusi kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan (Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan gambar 4.4 diatas dapat terlihat bahwa kejadian diare akut pada balita di Kelurahan Pekan Arba sebesar 53 % dari jumlah sampel.

4.7 Hubungan keadaan lingkungan responden dengan kejadian diare akut pada anak balita di kelurahan pekan Arba kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keadaan lingkungan dengan kejadian diare akut pada anak balita. Gambaran kejadian diare akut pada anak balita menurut keadaan lingkungannya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.7 Gambaran kejadian diare akut pada balita menurut kondisi lingkungannya

No

Keadaan lingkungan

frekuensi

Kejadian diare

Persentase (%)

1

2

3

Baik

Cukup

Buruk

96

125

9

47

66

9

49

52

100

Jumlah

230

122

(sumber :Data primer diolah, 2006)

Berdasarkan tabel 4.7 diatas diketahui bahwa persentase kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba sebesar 100 % pada keadaan lingkungan yang buruk, 52 % pada keadaan lingkungan yang cukup dan 49 % pada keadaan lingkungan yang baik.

Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan pula uji statistik yang disajikan pada tabel 4.8 sebagai berikut :

Tabel 4.8 Hubungan keadaan lingkungan terhadap kejadian diare akut

pada anak balita

Variabel

r

p

r2

Kemaknaan hubungan

Lingkungan

Kejadian diare

0,23

0,000

5,29 %

Signifikan ( < 0,05 )

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat keadaan lingkungan dan kejadian diare akut anak balita yang berkorelasi secara signifikan, probabalitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Nilai r2 menunjukkan kontribusi keadaan lingkungan terhadap kejadian diare akut sebesar 5,29 % sedangkan 94,71 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.

4.8 Hubungan keadaan sosial ekonomi responden dengan kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan kabupaten Indragiri Hilir

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan kejadian diare akut pada anak balita. Gambaran kejadian diare akut pada anak balita menurut keadaan sosial ekonomi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.9 Gambaran kejadian diare akut pada anak balita

Menurut sosial ekonomi responden

No

Sosial ekonomi

frekuensi

Kejadian diare

Persentase (%)

1

2

3

4

5

Prasejahtera

Keluarga sejahtera I

Keluarga sejahtera II

Keluarga sejahtera III

Keluarga sejahtera III plus

9

182

11

10

18

7

104

5

4

2

77

57

45

40

11

Jumlah

230

122

(sumber : Data primer diolah, 2006)

Berdasarkan tabel 4.9 diatas diketahui bahwa kejadian diare tertinggi pada anak balita terdapat pada keluarga presejahtera yakni sebesar 77 %, dan terendah adalah keluarga sejahtera III plus yakni sebesar 11%.

Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan uji statistik yang disajikan pada tabel 4.10 sebagai berikut :

Tabel 4.10 Hubungan keadaan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita

Variabel

r

p

r2

Kemaknaan hubungan

Sosial ekonomi

Kejadian diare

0,235

0,000

5,5 %

Signifikan ( < 0,05 )

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat keadaan lingkungan dan kejadian diare akut anak balita yang berkorelasi secara signifikan, probabalitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Nilai r2 menunjukkan kontribusi sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut hanya sebesar 5,5 % sedangkan 94,5 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.

4.9 Hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita di kelurahan pekan Arba kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian diare akut pada anak balita. Gambaran kejadian diare akut pada anak balita menurut tingkat pengetahuan ibunya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.11 Gambaran kejadian diare akut pada anak balita

menurut tingkat pengetahuan ibu

No

Tingkat pengetahuan

frekuensi

Kejadian diare

Persentase (%)

1

2

Tinggi

Sedang

107

123

31

91

29

74

Jumlah

230

122

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwa kejadian diare paling banyak terjadi pada anak balita yang ibunya memiliki pengetahuan sedang yakni sebesar 74 %, sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan tinggi angka kejadian diare hanya sebesar 29 %.

Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan uji statistik yang disajikan pada tabel 4.12 sebagai berikut :

Tabel 4.12 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap kejadian diare akut pada anak balita

Variabel

r

p

r2

Kemaknaan hubungan

Pengetahuan ibu

Kejadian diare

0,433

0,000

18,75 %

Signifikan ( < 0,05 )

(Sumber : Data primer diolah, 2006 )

Berdasarkan tabel 4.12 dapat dilihat keadaan lingkungan dan kejadian diare akut anak balita yang berkorelasi secara signifikan, probabalitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Nilai r2 menunjukkan kontribusi keadaan lingkungan terhadap kejadian diare akut hanya sebesar 18,75 % sedangkan 81,25 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.

4.10 Kontribusi keadaan lingkungan, pengetahuan ibu dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan kabupaten Indragiri Hilir

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi keadaan lingkungan, pengetahuan ibu dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan. Untuk mengetahui hubungan tersebut, telah dilakukan uji statistik menggunakan persamaan regresi dan korelasi tiga prediktor.

Hasil uji ANOVA atau F tes, didapat F hitung 24,120 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai probabilitas 0,000 jauh lebih kecil dari 0,05, maka kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu berpengaruh terhadap kejadian diare akut pada anak balita.

Persamaan regresi yang menggambarkan hubungan kondisi lingkungan, pengetahuan ibu dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita dapat dilihat dari persamaan berikut :

Y = 2,571 + 0,156 X1 + 0,062 X2 + 0,405 X3

Di mana :

Y = Kejadian diare akut pada anak balita

X1 = Kondisi lingkungan

X = Sosial ekonomi

X3 = Pengetahuan ibu

Persamaan regresi di atas menyatakan bahwa pengetahuan ibu memberikan kontribusi paling kuat dibandingkan lingkungan dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan.


BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Gambaran kondisi lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, didapatkan 54,4 % responden memiliki kondisi lingkungan cukup baik, 41,7 % memiliki kondisi lingkungan yang baik dan 3,9 % masih memiliki kondisi lingkungan yang buruk. Secara umum keadaan ini menggambarkan bahwa kondisi lingkungan di Kelurahan Pekan Arba masih belum memenuhi standar sebagai lingkungan yang memenuhi persyaratan kesehatan.

Kesehatan lingkungan hidup di Indonesia masih merupakan masalah utama dalam usaha peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Masalah lingkungan hidup ini meliputi kurangnya penyediaan air bersih, kurangnya pembuangan kotoran yang sehat, keadaan rumah yang tidak sehat, usaha higiene dan sanitasi makanan yang belum menyeluruh, pembuangan sampah dan limbah di daerah pemukiman yang kurang baik. Kondisi ini dipicu oleh multifaktor, diantaranya tingkat kemampuan ekonomi masyarakat, kurangnya pengetahuan tentang kondisi lingkungan yang baik, kurangnya kesadaran dalam pemeliharaan lingkungan dan masih kurangnya kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang mendukung peningkatan kualitas kesehatan lingkungan ini. (Anies, 2005)

Hasil penelitian tentang kondisi lingkungan responden di Kelurahan Pekan Arba yang diperoleh dari pengisian kuesioner dan pengamatan peneliti diketahui bahwa usaha penyediaan air minum sudah mulai meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat dari sumber air minum responden sudah memenuhi persyaratan, ditunjang dengan cara pengelolaan air minum yang benar. Hal ini dikarenakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini di Tembilahan sudah tersedia beberapa perusahaan sumber air mineral yang membantu memenuhi kebutuhan air minum. Sumber air minum dahulu berasal dari air hujan, air sumur dan air sungai, yang tidak memenuhi persyaratan sebagai sumber air minum.

Kondisi lingkungan responden yang tergolong sedang bahkan masih ada yang buruk terletak pada masalah pengelolaan limbah, sampah, jamban dan perumahan. Lebih dari 90 % responden tidak memiliki pengelolaan limbah. Limbah rumah tangga ini dibuang pada tempat terbuka dan biasanya langsung mencemari tanah. Hal ini tentu saja dapat sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya.

Responden tidak memiliki tempat pembuangan sampah sendiri berkisar 74,4 %. Tempat pembuangan sampah yang paling lazim diantaranya semak dan sungai, yang merupakan lahan kosong potensial tapi belum dimanfaatkan di kelurahan ini. Hal ini paling berefek negatif jika musim hujan tiba, sampah-sampah tadi akan berserakan dan potensial sekali sebagai media pertumbuhan berbagai kuman penyakit. Begitu pula dengan jenis dan jarak jamban, 72 % responden tidak memiliki jarak jamban yang baik. 53,5 % tidak menggunakan septic tank. Masyarakat yang tinggal dipinggir sungai rata-rata masih menggunakan Overhung latrine, yang mana kebutuhan air bersih seperti untuk mandi, mencuci juga berasal dari air sungai yang sama. Sebagian responden juga ada yang buang air besar di lahan terbuka seperti kebun, menggunakan kantong plastik, yang kemudian di buang di semak-semak. Hal ini tentu sangat mengancam kondisi kesehatan, terutama bagi anak-anak. Sehingga diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas keadaan lingkungan ini.

5.2 Gambaran sosial ekonomi responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, didapatkan bahwa sebagian besar responden berada pada tingkat keluarga sejahtera tahap I, yakni sebanyak 79,1 %, 7,8 % responden berada pada tingkat keluarga sejahtera tahap III plus, 4,8 % keluarga sejahtera II, 4,4 % keluarga sejahtera tahap III dan 3,9 % keluarga prasejahtera. Secara umum dapat dinilai bahwa sebagian besar masyarakat di Kelurahan Pekan Arba tersebut masih tergolong miskin.

Hal ini sesuai dengan fakta dan data resmi dari pendataan keluarga yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Riau yang melakukan pendataan dari door to door yang direkap hingga pertengahan tahun 2004, menyatakan bahwa 38,64% masyarakat Riau masih tergolong miskin. (Subburatno,2004). Menurut data dari badan penelitian dan pengembangan Provinsi Riau, persentase rumah tangga yang paling miskin di Riau yakni Kabupaten Indragiri Hilir, yakni sebesar 31,95%

Kondisi kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, rendahnya taraf pendidikan, rendahnya derajat kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan dan kondisi terisolasi. (Subburatno,2004). Dalam rencana strategis kemiskinan disebutkan bahwa dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok, yakni kurangnya kesempatan, rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan dan ketidakberdayaan. (Badan penelitian dan pengembangan provinsi Riau, 2004)

Hasil penelitian merangkum bahwa taraf pendidikan akhir masyarakat di Kelurahan Pekan Arba didominasi oleh tamatan SD bahkan ada yang tidak pernah menempuh jalur pendidikan, sehingga dengan taraf pendidikan yang rendah tersebut mengakibatkan kemampuan pengembangan diri mereka terbatas, rendahnya kemampuan dan ketidakberdayaan sehingga menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Akibatnya pekerjaan yang mendominasipun adalah pekerjaan kasar seperti tergambar dalam karakteristik pekerjaan, bahwa sebesar 90 % ibu-ibu adalah ibu rumah tangga, sedangkan suami mereka sebesar 57 % bekerja wiraswasta seperti buruh, tukang bangunan, tukang jahit, tukang becak.

5.3 Gambaran pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, didapatkan 53,5 % tingkat pengetahuan ibu sedang dan 46,1 % dengan pengetahuan tinggi. Sedangkan untuk pengetahuan rendah tidak ada. Rata-rata ibu-ibu tersebut telah pernah mendapatkan informasi dari posyandu melalui kegiatan penyuluhan oleh para kader tentang diare tersebut.

Masih banyaknya pengetahuan ibu yang sedang terhadap kejadian diare pada anak balita ini disebabkan karena responden hanya berada pada tingkat tahu dan belum sampai memahami, mengaplikasikan, menganalisa, mensintesis dan mengevaluasi terhadap suatu materi yang berkaitan dengan kejadian diare ini (Notoatmodjo, 2003).

Selain itu tingkat pengetahuan ini juga dipengaruhi oleh multifaktor seperti tingkat pendidikan, peran penyuluh kesehatan, akses informasi yang tersedia dan keinginan untuk mencari informasi dari berbagai media. Mayoritas responden hanya tamatan SD. Sehingga dimaklumi kalau tingkat pengetahuan yang mereka peroleh masih minim. Menurut Chadijah (1997) pendidikan orang tua, terutama ibu merupakan salah satu kunci perubahan sosial budaya. Pendidikan yang relatif tinggi akan memiliki praktek yang lebih baik terhadap pemeliharaan kesehatan keluarga terutama anak balita.

Lingkungan di Kelurahan Pekan Arba memiliki distribusi sosio geografis yang tidak merata, sehingga menyebabkan ada suatu wilayah lebih terbelakang dibanding wilayah lainnya. Hal ini menyebabkan wilayah yang terkebelakang tersebut memiliki akses yang sangat minim untuk memperoleh informasi di bidang kesehatan. Selain itu rendahnya pengetahuan juga disebabkan minimnya pelayanan kesehatan yang tersedia. Kelurahan Pekan Arba hanya memiliki satu puskesmas pembantu, yang terdiri dari bidan dan para perawat saja, ditunjang dengan enam buah posyandu yang melayani ibu dan balita di wilayah ini. Sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan informasi kesehatan bagi masyarakat di daerah ini oleh karena minimnya tenaga penyuluh dan keterampilan yang mereka miliki.

Analisis hasil kuesioner pada tabel 4.6 diketahui bahwa ibu-ibu telah memiliki pengetahuan yang baik tentang definisi diare, dampak dan penatalaksanaannya, hal ini tergambar dari jawaban per item pertanyaan. Sebagian besar ibu-ibu dapat menjawab dengan benar pertanyaan no 1,2 mengenai definisi, no 3 mengenai dampak, no 8 sampai 14 mengenai penatalaksanaan. Sedangkan pengetahuan mengenai penyebab dan pencegahan diare masih banyak yang menjawab tidak tepat. Hal ini tergambar dari banyaknya kesalahan ibu-ibu menjawab pertanyaan no 4 sampai 7 dan no 15, yang berisikan penyebab dan usaha pencegahan diare.

5.4 Gambaran kejadian Diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 230 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita yang berada di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir diketahui bahwa 53 % dari anak balitanya pernah menderita diare dalam tiga bulan terkhir ini dan 47 % diantaranya tidak menderita diare dalam tiga bulan terkhir ini.

Masih banyak kasus diare pada anak balita ini ditinjau dari distribusi umur anak balita pada penelitian, yakni sebesar 60 % anak balita masih berusia kurang dari 2 tahun. Umur anak 12-24 bulan beresiko 2-3 kali lebih besar untuk terjadinya diare dibanding anak 25-59 bulan. Pada masa dua tahun pertama kehidupan balita mudah terinfeksi bakteri misalnya pada proses pengenalan makanan yang terpapar bakteri tinja, kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi merangkak. (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 1999). Selain itu karena masih tingginya perilaku hidup yang tidak sehat, rendahnya sanitasi lingkungan, kurangnya pengetahuan tentang pencegahan diare oleh ibu-ibu serta semakin terperosoknya perekonomian rakyat, sehingga pemanfaatan pelayanan kesehatan dan usaha pencegahan terhadap penyakit semakin berkurang. (Notoatmodjo, 2003).

Kejadian diare pada anak balita tersebut umumnya berlangsung kurang dari satu minggu dan tidak sampai menderita dehidrasi. Hal ini karena ibu-ibu balita tersebut telah memiliki pengetahuan yang baik tentang penatalaksanaan diare akut pada anak balitanya. Hal ini dapat diketahui dari hasil pengolahan data kuesioner, bahwa pertanyaan no 10, 11, 12 dan 13 tentang penatalaksanaan diare akut dapat dijawab dengan benar oleh sebagian besar ibu-ibu, dengan persentase masing-masing 93,5 %, 63 %, 71,3 % dan 90 %.

5.5 Hubungan keadaan lingkungan terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Pada tabel 4.7 dapat diketahui bahwa pada keadaan lingkungan yang baik, angka kejadian diare akut pada anak balita sebesar 49 %, pada keadaan lingkungan yang cukup, angka kejadian diare sebesar 52 %, sedangkan pada keadaan lingkungan yang buruk, angka kejadian diare sebesar 100 %. Hal ini menggambarkan bahwa semakin buruk kondisi suatu lingkungan, maka angka kejadian diare akut pada anak balita semakin tinggi dan semakin baik keadaan suatu lingkungan maka angka kejadian diare akut pada anak balita semakin kecil. Artinya lingkungan diasumsikan sebagai salah satu faktor resiko terhadap kejadian diare akut pada balita ini. Agar analisis ini lebih valid maka perlukan uji statistik lebih lanjut.

Pada tabel 4.8 dapat dilihat bahwa dari uji statistik yang dilakukan dengan program SPSS diperoleh hasil bahwa antara kondisi lingkungan dan kejadian diare pada anak balita terdapat korelasi yang signifikan dan sangat nyata, terlihat dari nilai probabilitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 atau praktis 0. Artinya hipotesis penelitian diterima yakni terdapat hubungan yang positif antara kondisi lingkungan responden dengan kejadian diare akut pada anak balita. Angka korelasi antara faktor lingkungan dengan kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba ini adalah 0,23. Hal ini menunjukkan lemahnya korelasi antara faktor lingkungan dengan kejadian diare akut. Artinya tidak cukup hanya dengan perbaikan keadaan lingkungan saja untuk menghindari kejadian diare akut pada anak balita ini, tapi juga diimbangi dengan perbaikan faktor resiko lainnya terutama perilaku ibu. Koefisien determinasi sebesar 5,29 % menunjukkan bahwa kontribusi faktor lingkungan 5,29 %, sedangkan 94,71 % disebabkan oleh faktor-faktor lain. Hal ini terjadi karena faktor lingkungan bukanlah satu-satunya faktor resiko dari kejadian diare akut pada anak balita tersebut.

Keadaan sehat merupakan hasil interaksi antara manusia dan lingkungannya yang serasi dan dinamis. Lingkungan yang tidak memenuhi standar kesehatan diketahui merupakan faktor resiko timbulnya gangguan kesehatan masyarakat. Diare merupakan salah satu penyakit yang erat hubungannya dengan hygiene dan sanitasi lingkungan seperti penggunaan air minum yang tidak bersih, tidak memadainya sarana pembuangan kotoran, limbah, sampah, dan perumahan yang tidak memenuhi standar kesehatan. Kurangnya kebersihan lingkungan ini menyebabkan angka kejadian diare semakin meningkat. Berarti semakin baik kondisi lingkungan seseorang maka semakin kecil kemungkinan terjadinya diare akut pada anak balita. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Joko (2000), Sonny (2002), Sunanti (2004), yang menyatakan bahwa lingkungan berhubungan erat dan merupakan faktor resiko terhadap kejadian diare akut pada anak balita.

Dari analisis pengamatan selama penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden tidak memiliki jamban yang baik, jarak jamban yang benar dengan sumber air bersih, pengelolaan sampah dan limbah yang baik. Lebih dari 50 % responden menggunakan jenis jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti overhung latrine, pit latrine, yakni jamban-jamban yang dibuat di atas sungai, kolam, kali, yang mana jika musim hujan tiba jamban akan penuh oleh air, feses dapat mengotori air permukaan. Sementara untuk kebutuhan air bersih seperti memasak, mandi dan mencuci masih menggunakan air yang sama. Hal ini tentu semakin memudahkan penularan diare secara fecal-oral kepada anak balita. Karena melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, terutama pada balita akan lebih mudah terserang penyakit (Slamet, 1994).

Pengelolaan sampah dan limbah juga masih harus diperhatikan, karena sebagian besar responden membuang sampah pada lahan-lahan kosong seperti semak-semak. Pembuangan limbah rumah tangga pada tanah terbuka, umumnya langsung di bawah rumah. Hal ini akan menjadi media yang sangat baik untuk perkembangbiakan kuman penyakit. Untuk memutuskan rantai perkembangbiakan penyakit menular seperti diare ini diperlukan usaha keras dari berbagai pihak terutama pemerintah kota Tembilahan, seperti upaya peningkatan pendapatan masyarakat sehingga dengan bertambahnya pendapatan, mereka dengan sendirinya akan memperbaiki kondisi kehidupannya. Selain itu diperlukan pengadaan sarana dan prasarana umum untuk meningkatkan kebersihan lingkungan seperti jamban umum, tempat sampah, tempat pengelolaan limbah, dll

5.6 Hubungan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Dari tabel 4.9 dapat diketahui bahwa angka kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan pekan Arba pada tingkat sosial ekonomi pra sejahtera sebesar 77 %, pada tingkat keluarga sejahtera I sebesar 57%, keluarga sejahtera II sebesar 45%, keluarga sejahtera III sebesar 40% dan keluarga sejahtera III plus sebesar 11%. Hal ini menggambarkan bahwa angka kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba juga dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan suatu keluarga maka angka kejadian diare akut pada balitanya juga semakin rendah. Sebaliknya semakin terpuruknya sosial ekonomi suatu keluarga maka angka kejadian diare akut pada anak balita semakin rendah.

Dalam penelitian ini diketahui bahwa 83 % responden tergolong keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I, artinya secara umum responden masih tergolong keluarga miskin. Sehingga usaha untuk pencegahan penyakit, pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak terpenuhi oleh karena keterbatasan uang. Hal ini menyebabkan masyarakat rentan menderita penyakit menular seperti diare ini. Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena kemiskinan mengurangi kapasitas orangtua untuk mendukung perawatan kesehatan yang memadai pada anak, cenderung memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga anak yang miskin memiliki angka kematian dan kesakitan yang lebih tinggi untuk hampir semua penyakit. (Behrman, 1999). Sistem imun anak yang berasal dari sosio ekonomi rendah akan lebih rendah dibanding anak yang berasal dari sosio ekonomi tinggi. Sehingga lebih rentan terinfeksi kuman penyebab diare ini. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Joko (1996), Sonny (2002).

Secara statistik juga dapat diketahui pada tabel 4.10, bahwa antara keadaan sosial ekonomi dan kejadian diare pada anak balita terdapat korelasi yang signifikan dan sangat nyata, terlihat dari nilai probabilitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 atau praktis 0. Artinya hipotesis penelitian diterima, terdapat hubungan yang positif antara keadaan sosial ekonomi responden dengan kejadian diare akut pada anak balita. Berarti semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang maka semakin kecil kemungkinan terjadinya diare pada anak balita. Angka korelasi antara sosial ekonomi dengan kejadian diare akut pada anak balita adalah 0,235. Hal ini menunjukkan lemahnya korelasi antara sosial ekonomi dengan kejadian diare akut. Koefisien determinasi sebesar 5,5 % menunjukkan bahwa kontribusi faktor lingkungan 5,5 %, sedangkan 94,5 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor lain. Hal ini terjadi karena sosial ekonomi bukanlah satu-satunya faktor resiko dari kejadian diare pada anak balita tersebut. Untuk mengatasi kejadian diare pada balita selain dilakukan upaya peningkatan sosial ekonomi keluarga, juga diperlukan perbaikan faktor resiko diare akut lainnya.

5.7 Hubungan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

Pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa angka kejadian diare pada tingkat pengetahuan ibu sedang sebesar 74%, sedangkan pada tingkat pengetahuan tinggi hanya sebesar 29 %. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi pengetahuan seorang ibu terhadap suatu penyakit maka akan semakin kecil resiko anak balitanya menderita penyakit tersebut. Pada penelitian ini tidak ada ibu yang memiliki pengetahuan rendah, hal ini dikarenakan bahwa telah sampai akses informasi kesehatan terhadap mereka misalnya lewat penyuluhan, media massa, dll walaupun masih sangat minimal dan baru dalam tahap tahu, belum memahami apalagi menganalisis dan mengaplikasikannya.

Hasil uji statistik dapat dilihat pada tabel 4.12, bahwa antara pengetahuan ibu dan kejadian diare pada anak balita terdapat korelasi yang signifikan dan sangat nyata, terlihat dari nilai probabilitas 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 atau praktis 0. Artinya hipotesis penelitian diterima, terdapat hubungan yang positif antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita. Berarti semakin tinggi pengetahuan seorang ibu maka semakin kecil kemungkinan terjadinya diare pada anak balitanya.

Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994). Pada balita yang belum dapat menjaga kebersihan dan menyiapkan makanan sendiri, kualitas makanan dan minuman tergantung pada ibu sebagai pengasuh utama. Perilaku ibu dalam menjaga kebersihan dan mengolah makanan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang cara pengolahan dan penyiapan makanan yang sehat dan bersih (KR Margawai, 1996). Sehingga dengan pengetahuan ibu yang baik diharapkan dapat mengurangi angka kejadian diare pada anak balitanya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh joko (1996), yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu sebagai faktor utama yang menyebabkan terjadinya diare pada anak balita. Jadi untuk memutuskan rantai penularan diare ini diperlukan upaya-upaya peningkatan pengetahuan ibu secara lebih berkala oleh petugas kesehatan dan kader posyandu, seperti langsung mempraktikan dengan alat peraga dan gambar

Angka korelasi antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita adalah 0,433. Hal ini menunjukkan cukup kuatnya korelasi antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita. Artinya jika pengetahuan ibu dapat ditingkatkan maka angka kejadian diare akut pada anak balita ini dapat segera diturunkan. Koefisien determinasi sebesar 18,75 % menunjukkan bahwa kontribusi tingkat pengetahuan ibu 18,75 %, sedangkan 81,25 % lagi disebabkan oleh faktor-faktor lain. Hal ini terjadi karena pengetahuan ibu bukanlah satu-satunya faktor resiko dari kejadian diare akut pada anak balita ini.

5.8 Kontribusi keadaan lingkungan, pengetahuan ibu dan sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan INHIL

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat besarnya hubungan antara kejadian diare akut pada anak balita dengan kondisi lingkungan yang dihitung dengan koefisien korelasi adalah 0,23, antara kejadian diare akut pada anak balita dengan sosial ekonominya adalah 0,235 dan antara kejadian diare akut pada anak balita dengan pengetahuan ibu adalah 0,433. Hal ini menandakan adanya korelasi antara variabel bebas dan terikatnya. Tingkat signifikansi koefisien korelasi antara kejadian diare akut pada anak balita dengan kondisi lingkungan, soial ekonomi dan pengetahuan ibu menghasilkan angk 0,000 atau praktis 0, maka korelasi di antara kejadian diare akut dengan variabel-variabel bebasnya yakni kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu bernilai sangat nyata.

Dari uji ANOVA atau F tes, didapat F hitung 24,120 dengan tingkat signifikasi 0,000. Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05, maka konisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu berpengaruh positif terhadap kejadian diare akut pada anak balita.

Persamaan regresi Y= 2,571 + 0,156 X1 + 0,062 X2 + 0,405 X3, memperlihatkan bahwa pengetahuan ibu memiliki kontribusi yang paling kuat dibandingkan kondisi lingkungan dan sosil ekonomi. Koefisien regresi X2 sebesar 0,405 menyatakan bahwa setiap penambahan 1 % pengetahuan ibu maka akan mengurangi kejadian diare pada anak balita sebesar 0,405 %. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko terjadinya diare pada anak balita ini, maka intervensi terhadap peningkatan pengetahuan ibu terhadap diare akut ini lebih ditingkatkan dibandingkan dengan peningkatan faktor lingkungan dan sosial ekonomi.

Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnyapun menjadi sehat (Slamet, 1994)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Kondisi lingkungan responden di kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan kabupaten Indragiri Hilir berada dalam kategori cukup yaitu sebanyak 54,4 %

2. Sosial ekonomi responden di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir berada dalam kategori keluarga Sejahtera I yaitu sebanyak 79,1 %

3. Pengetahuan ibu yang memiliki anak balita terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir berada dalam kategori sedang 53,5%

4. Kejadian diare pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir sebanyak 53 % dari total sampel

5. Adanya hubungan antara kondisi lingkungan terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba dimana lingkungan yang buruk lebih besar menimbulkan kejadian diare akut pada anak balita. Secara statistik memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan tingkat korelasi lemah (0,23)

6. Adanya hubungan antara sosial ekonomi terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba dimana keluarga prasejahtera lebih besar menimbulkan kejadian diare akut pada anak balita. Secara statistik memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan tingkat korelasi lemah (0,235)

7. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita di Kelurahan Pekan Arba dimana tingkat pengetahuan ibu sedang lebih besar menimbulkan kejadian diare akut pada anak balita dibanding pengetahuan ibu tinggi, dengan uji statistik diketahui adanya hubungan yang positif dan signifikan dengan tingkat korelasi cukup kuat (0,433)

8. Adanya kontribusi kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita (tingkat signifikansi 0,000) di Kelurahan Pekan Arba Kecamatan Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir

9. Kontribusi pengetahuan ibu lebih kuat dibanding lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi kejadian diare pada anak balita

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa saran dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Pentingnya usaha peningkatan pengetahuan ibu tentang kejadian diare akut pada anak balita. Usaha peningkatan ini dapat dilakukan dengan penyuluhan oleh kader-kader posyandu setempat, terutama tentang pencegahan diare.

2. Kepada petugas kesehatan, yakni perawat, bidan yang bekerja di puskesmas pembantu Kelurahan Pekan Arba agar dapat meningkatkan upaya-upaya pelatihan terhadap kader-kader posyandu secara rutin sebagai usaha peningkatan keterampilan kader agar akses informasi tepat diterima oleh ibu-ibu.

3. Kepada pemerintah setempat agar dapat sesegera mungkin meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan seperti pengadaan puskesmas baru, penyediaan sarana pembuangan limbah, memperbanyak tempat-tempat sampah, mengaktifkan mobil pemungut sampah, menyediakan sarana Wc umum, terutama di daerah tepi sungai, membuat kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Adzania M. Merawat balita itu mudah. Bandung : Nexx media Inc, 2004. 34-36, 55

Andrianto P. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare akut, edisi 2. Jakarta : EGC, 1995. 1-2, 29-33

Anies. Mewaspadai penyakit lingkungan. Jakarta : Elex media komputindo, 2005.

Asnil P, Noerasid H, Suraatmadja S. Gastroenteritis akut. Dalam: Suharyono, Boediarso aswitha, Halimun EM (editors). Gastroenterologi anak praktis. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2003. 51-68

Badan Penelitian dan pengembangan Provinsi Riau. Pendataan penduduk /keluarga miskin provinsi Riau. Pekanbaru: badan penelitian dan pengembangan provinsi Riau, 2004. 20-24

Behrman RE. Anak dengan resiko tertentu. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin. (editors). Ilmu Kesehatan anak Nelson Vol I, Edisi 15. Jakarta : EGC, 1999. 169-171

Bagian Ilmu kesehatan anak FK UI. Ilmu Kesehatan Anak, jilid 1. Jakarta : Infomedika Jakarta, 1998. 283-288

Dahlan S. Seri statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta : PT Arkans Entertainment and Education in harmony, 2004. 2-59, 123-135

Departemen Kesehatan RI. Laporan perkembangan pencapaian tujuan pembangunan mileniun Indonesia, 2000. http;//w3.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/IndonesiaMDG BI Goal4.pdf (diakses 3 Des 2005)

Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Buku Ajar Diare. Jakarta : Depkes RI, 1999. 3-11, 53-59, 71-80

Irianto J. Prediksi Keparahan Diare Menurut faktor-faktor yang berpengaruh pada anak balita di Indonesia. Center for research and development of health ecology. 2000. http : // digilib.3w Litbang. Depkes. Go. Id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2000-joko-1085-diare ( diakses 3 Des 2005)

Mansjoer A, Suorohaita, Wardhani W, Setiawula W. Kapita selekta kedokteran, edisi 3. Jakarta: Media aresculapius, 2000. 470-476

Mukono HJ. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Edisi 2. Surabaya : Airlangga university press, 2006.

Ngastiyah. Perawatan anak sakit. Jakarta : EGC, 1997. 143-145

Noerolandra. Dilema penyakit menular. Medika no 9 th 25 Sep 1999: 591-592

Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002.

Notoatmodjo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat .Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Pickering K. Larry, Snyder DJ. Gastroenteritis. Dalam : Nelson textbook of pediatrics. Edisi 17., Behrman, Kliegman, Jensen. Editor. Amerika : International edition, 2004. 1272-1274

Slamet SJ. Kesehatan lingkungan. Yogyakarta : Gadjah mada university press, 1994

Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta : EGC, 1995. 4-8

Suandi IKG. Diit pada anak sakit. Jakarta : EGC, 1999. 61-63

Suburratno. Riau dalam arus perubahan. Pekanbaru: Alaf Riau, 2004. 56-60

Sugiono. Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta, 2005. 250-259

Sutoto, Indriyono. Kebijaksanaan pemberantasan penyakit Diare dalam pelita V. Dirjen PPM dan PLP Dep.Kes. majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Th. XXIV No.7. Jakarta :1996

Trihendradi C. Memecahkan kasus statistik deskriptif, Parametrik dan non parametrik dengan SPSS 12. Yogyakarta : Penerbit ANDI, 2004. 136-151, 177-185

Trisnanta T. Manusia dan Kesehatan lingkungan. Jakarta : CV Panca Sejati, 1995. 22-24

Warouw PS. Hubungan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dengan morbiditas ISPA dan Diare. Direktorat penyehatan lingkungan. 2002. http : // digilib. Litbang.Depkes. Go. Id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2002-sonny-836-lingkungan (diakses 3 Des 2005)

Widjaja MC. Mengatasi diare dan keracunan pada balita. Jakarta : Kawan pustaka, 2003.1-6

Juli 16, 2008 Posted by | Penelitian | | Tinggalkan komentar

Karakteristik Kasus Solusio Plasenta di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

ABSTRACT

CHARACTERISTIC OF SOLUTIO PLACENTA AT DEPARTMENT OF OBSTETRICS AND GYNAECOLOGY RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU PERIOD 1st JANUARY 2002 -31st DECEMBER 2006


By

Yayan Akhyar Israr

Solutio placenta is the premature separation of the placenta from its site of implantation after 20 weeks of pregnancy and before the delivery of the fetus. Solutio placenta represent one of the obstetrical hemorrhage which is able to cause maternal death. Problem of solutio placenta is important to be known because this case represent one of the 3rd period pregnancy complication which can increase mortality number and morbidity number of mother and the fetus if its handling do not conducted precisely.

The descriptive and retrospective research have been conducted by taking data from RSUD Arifin Achmad Pekanbaru toward solutio placenta cases during period 1st January 2002-31st December 2006.

From the result of research obtained 12709 obstetric cases including 33 solutio placenta cases (0.26%) where the amount of mother death (6.9%). The amount of baby life after intensive care (51.72%) is higher than the amount of baby dying (37.93%) and the amount of baby which is life healthily (10.35%).


BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Solusio plasenta atau disebut juga abruptio placenta atau ablasio placenta adalah separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus (korpus uteri) dalam masa kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum janin lahir. Dalam plasenta terdapat banyak pembuluh darah yang memungkinkan pengantaran zat nutrisi dari ibu ke janin, jika plasenta ini terlepas dari implantasi normalnya dalam masa kehamilan maka akan mengakibatkan perdarahan yang hebat. Hebatnya perdarahan tergantung pada luasnya area plasenta yang terlepas (1,2).

Penyebab terbanyak kematian maternal di Indonesia adalah perdarahan (1). Perdarahan pada ibu hamil dibedakan atas perdarahan antepartum (perdarahan sebelum janin lahir) dan perdarahan postpartum (setelah janin lahir). Solusio plasenta merupakan 30% dari seluruh kejadian perdarahan antepartum yang terjadi (3,4).

Perdarahan pada solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa oleh karena pada kejadian tertentu perdarahan yang tampak keluar melalui vagina hampir tidak ada atau tidak sebanding dengan perdarahan yang berlangsung internal yang sangat banyak. Pemandangan yang menipu inilah sebenarnya yang membuat solusio plasenta lebih berbahaya karena dalam keadaan yang demikian seringkali perkiraan jumlah darah yang telah keluar sukar diperhitungkan, padahal janin telah mati dan ibu berada dalam keadaan syok (5).

Penyebab solusio plasenta tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada kasus-kasus berat didapatkan korelasi dengan penyakit hipertensi vaskuler menahun, dan 15,5% disertai pula oleh preeklamsia. Faktor lain yang diduga turut berperan sebagai penyebab terjadinya solusio plasenta adalah tingginya tingkat paritas dan makin bertambahnya usia ibu (5).

Gejala dan tanda solusio plasenta sangat beragam, sehingga sulit menegakkan diagnosisnya dengan cepat. Dari penelitian oleh Hard dan kawan-kawan diketahui bahwa 15% dari kasus solusio plasenta didiagnosis dengan persalinan prematur idiopatik, sampai kemudian terjadi gawat janin, perdarahan hebat, kontraksi uterus yang hebat, hipertoni uterus yang menetap, gejala-gejala ini dapat ditemukan sebagai gejala tunggal tetapi lebih sering berupa gejala kombinasi (2).

Solusio plasenta merupakan penyakit kehamilan yang relatif umum dan dapat secara serius membahayakan keadaan ibu. Seorang ibu yang pernah mengalami solusio plasenta, mempunyai resiko yang lebih tinggi mengalami kekambuhan pada kehamilan berikutnya. Solusio plasenta juga cenderung menjadikan morbiditas dan bahkan mortalitas pada janin dan bayi baru lahir. Angka kematian janin akibat solusio plasenta berkisar antara 50-80%. Tetapi ada literatur lain yang menyebutkan angka kematian mendekati 100% (3).

Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian maternal di Indonesia pada tahun 1998-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih cukup jauh dari tekad pemerintah yang menginginkan penurunan angka kematian maternal menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup untuk tahun 2010. Angka kematian maternal ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Angka kematian maternal di Singapura dan Malaysia masing-masing 5 dan 70 orang per 100.000 kelahiran hidup (6).

Di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru solusio plasenta yang termasuk dalam hemoragi (perdarahan) antepartum menduduki peringkat ke-4 terbanyak berdasarkan data dari bagian Rawat Inap Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru yang menampilkan 10 kasus Obstetri terbanyak tahun 2004.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka timbul pertanyaan yang hendak dijawab dengan penelitian ini, yaitu:

1) Berapa angka kejadian solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru selama periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 ?

2) Berapa angka kejadian solusio plasenta ditinjau dari umur ibu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru selama periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 ?

3) Berapa angka kejadian solusio plasenta ditinjau dari paritas ibu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru selama periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 ?

4) Berapa distribusi kejadian hipertensi dalam kehamilan pada penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru selama periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 ?

5) Adakah riwayat trauma abdomen penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru selama periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 ?

6) Apa jenis tindakan persalinan yang dilakukan dalam penanganan penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru selama periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 ?

7) Bagaimana luaran ibu dan bayi pada penderita solusio plasenta yang dirawat di bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada saat keluar dari Rumah Sakit dalam periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 ?

Maka berdasarkan hal di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut; “Bagaimana karakteristik kasus solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 ?”.

1. 3 Tujuan Penelitian

1. 3. 1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui karakteristik kasus solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

1. 3. 2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui angka kejadian solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

2) Mengetahui distribusi umur ibu penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

3) Mengetahui distribusi paritas ibu penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

4) Mengetahui distribusi hipertensi dalam kehamilan pada penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

5) Mengetahui distribusi trauma abdomen pada penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

6) Mengetahui jenis tindakan persalinan yang dilakukan pada kasus solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

7) Mengetahui luaran ibu dengan solusio plasenta saat keluar dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

8) Mengetahui luaran bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita solusio plasenta saat keluar dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

1. 4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk :

1) Memberikan gambaran mengenai kasus solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

2) Sumber informasi bagi praktisi kesehatan dan pemerintah agar lebih memperhatikan masalah solusio plasenta sebagai salah satu faktor resiko penyebab kematian ibu dan anak yang dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam pengelolaan kasus-kasus solusio plasenta sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu dan anak.

3) Untuk kepentingan masyarakat ilmiah, sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir (7,8). Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta sebagai separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri sebelum janin lahir (2). Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20 minggu maka mungkin akan didiagnosis sebagai abortus imminens (5). Sedangkan Abdul Bari Saifuddin dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini hanya berlaku apabila terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram (9).

Gambar 2. 1 Solusio Plasenta (Placental abrubtion) (10).

2. 2 Klasifikasi

a. Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta (5):

1. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.

2. Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.

3. Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.

b. Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan (3):

1. Solusio plasenta dengan perdarahan keluar

2. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk hematoma retroplacenter

3. Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion .

c. Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu (2,7):

1. Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%.

2. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.

3. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.

2. 3 Epidemiologi

Insiden solusio plasenta bervariasi antara 0,2-2,4 % dari seluruh kehamilan. Literatur lain menyebutkan insidennya 1 dalam 77-89 persalinan, dan bentuk solusio plasenta berat 1 dalam 500-750 persalinan (11). Slava dalam penelitiannya melaporkan insidensi solusio plasenta di dunia adalah 1% dari seluruh kehamilan. Di sini terlihat bahwa tidak ada angka pasti untuk insiden solusio plasenta, karena adanya perbedaan kriteria menegakkan diagnosisnya (8).

Penelitian Cunningham di Parkland Memorial Hospital melaporkan 1 kasus dalam 500 persalinan. Tetapi sejalan dengan penurunan frekuensi ibu dengan paritas tinggi, terjadi pula penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750 persalinan (2). Menurut hasil penelitian yang dilakukan Deering didapatkan 0,12% dari semua kejadian solusio plasenta di Amerika Serikat menjadi sebab kematian bayi (11). Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Ducloy di Swedia melaporkan dalam 894.619 kelahiran didapatkan 0,5% terjadi solusio plasenta (13).

Cunningham di Amerika Serikat melakukan penelitian pada 763 kasus kematian ibu hamil yang disebabkan oleh perdarahan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. 1 Kematian ibu hamil yang disebabkan perdarahan (2).

No.

Penyebab Perdarahan

Sampel

(%)

1.

Solusio Plasenta

141

19

2.

Laserasi/ Ruptura uteri

125

16

3.

Atonia Uteri

115

15

4.

Koagulopathi

108

14

5.

Plasenta Previa

50

7

6.

Plasenta Akreta/ Inkreta/ Perkrata

44

6

7.

Perdarahan Uterus

44

6

8.

Retained Placentae

32

4

Pada tabel 2. 1 diketahui bahwa solusio plasenta menempati tempat pertama sebagai penyebab kematian ibu hamil yang disebabkan oleh perdarahan dalam masa kehamilan (2).

Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta didapat angka 2% atau 1 dalam 50 persalinan. Antara tahun 1968-1971 solusio plasenta terjadi pada kira-kira 2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solusio plasenta sedang dan 86% solusio plasenta berat. Solusio plasenta ringan jarang didiagnosis, mungkin karena penderita terlambat datang ke rumah sakit atau tanda-tanda dan gejalanya terlalu ringan sehingga tidak menarik perhatian penderita maupun dokternya (5).

Sedangkan penelitian yang dilakukan Suryani di RSUD. DR. M. Djamil Padang dalam periode 2002-2004 dilaporkan terjadi 19 kasus solusio plasenta dalam 4867 persalinan (0,39%) atau 1 dalam 256 persalinan (14).

2. 4 Etiologi

Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi :

1. Faktor kardio-reno-vaskuler

Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia (15,16). Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu (2,3).

2. Faktor trauma

Trauma yang dapat terjadi antara lain :

Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.

Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan.

Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.

Dari penelitian yang dilakukan Slava di Amerika Serikat diketahui bahwa trauma yang terjadi pada ibu (kecelakaan, pukulan, jatuh, dan lain-lain) merupakan penyebab 1,5-9,4% dari seluruh kasus solusio plasenta (9). Di RSUPNCM dilaporkan 1,2% kasus solusio plasenta disertai trauma (5).

3. Faktor paritas ibu

Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari 83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18 pada primipara (15,16). Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium (2,3,5).

4. Faktor usia ibu

Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun (1,2,3,5).

5. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma (3,15).

6. Faktor pengunaan kokain

Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35% (12).

7. Faktor kebiasaan merokok

Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya (17). Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya kehamilan (12)

8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya

Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya (3,8,12,18).

9. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lain-lain (16).

2. 5 Patogenesis.

Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus (2,3,19).

Gambar 2. 2 Plasenta normal dan solusio plasenta dengan hematom

subkhorionik (18).

Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan sedikit mendesak jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi untuk membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi. Akibatnya hematom subkhorionik akan menjadi bertambah besar, kemudian akan medesak plasenta sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan terlepas dari implantasinya di dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, dapat juga keluar melalui vagina, darah juga dapat menembus masuk ke dalam kantong amnion, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi suatu kondisi uterus yang biasanya disebut dengan istilah Uterus Couvelaire, dimana pada kondisi ini dapat dilihat secara makroskopis seluruh permukaan uterus terdapat bercak-bercak berwarna biru atau ungu. Uterus pada kondisi seperti ini (Uterus Couvelaire) akan terasa sangat tegang, nyeri dan juga akan mengganggu kontraktilitas (kemampuan berkontraksi) uterus yang sangat diperlukan pada saat setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan terjadi perdarahan post partum yang hebat (3,5).

Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya (5).


2. 6 Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas pengelompokannya menurut gejala klinis (2,5,7):

1. Solusio plasenta ringan

Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya terus menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman (2,5,7).

2. Solusio plasenta sedang

Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari satu per empat bagian, tetapi belum dua per tiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, tetapi dapat juga secara mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat (2,5,7).

3. Solusio plasenta berat

Plasenta telah terlepas lebih dari dua per tiga permukaannnya. Terjadi sangat tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, terkadang perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal (2,5,7).

2.7 Komplikasi

Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu :

1.
Syok perdarahan

Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat (2,3,12).

Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kesakitan dan kematian ibu tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan (19).

2. Gagal ginjal

Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak (2,5). Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah (2).

3. Kelainan pembekuan darah

Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di RSUPNCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta yang ditelitinya (5).

Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah (2,5,8).

Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase (8,17):

  1. Fase I

Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom subkhorionik mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut. Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan oliguria/anuria (8).

b. Fase II

Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah berakibat lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis (17). Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di klinik pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita saat itu (2).

4. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)

Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan (14).

Komplikasi yang dapat terjadi pada janin (8,12,13) :

1. Fetal distress

2. Gangguan pertumbuhan/perkembangan

3. Hipoksia dan anemia

4. Kematian


2. 8 Diagnosis

Keluhan dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas. Sebagai contoh, perdarahan eksternal dapat banyak sekali meskipun pelepasan plasenta belum begitu luas sehingga menimbulkan efek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal tidak ada, tetapi plasenta sudah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat langsung dari keadaan ini. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi mengandung ancaman bahaya yang jauh lebih besar bagi ibu, hal ini bukan saja terjadi akibat kemungkinan koagulopati yang lebih tinggi, namun juga akibat intensitas perdarahan yang tidak diketahui sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau terlambat (2,3).

Menurut penelitian retrospektif yang dilakukan Hurd dan kawan-kawan pada 59 kasus solusio plasenta dilaporkan gejala dan tanda pada solusio plasenta (2,3) :

Tabel 2. 2 Tanda dan Gejala Pada Solusio Plasenta

No.

Tanda atau Gejala

Frekuensi (%)

1.

Perdarahan pervaginam

78

2.

Nyeri tekan uterus atau nyeri pinggang

66

3.

Gawat janin

60

4.

Persalinan prematur idiopatik

22

5.

Kontraksi berfrekuensi tinggi

17

6.

Uterus hipertonik

17

7.

Kematian janin

15

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perdarahan pervaginam merupakan gejala atau tanda dengan frekuensi tertinggi pada kasus-kasus solusio plasenta.

Berdasarkan kepada gejala dan tanda yang terdapat pada solusio plasenta klasik umumnya tidak sulit menegakkan diagnosis, tapi tidak demikian halnya pada bentuk solusio plasenta sedang dan ringan. Solusio plasenta klasik mempunyai ciri-ciri nyeri yang hebat pada perut yang datangnya cepat disertai uterus yang tegang terus menerus seperti papan, penderita menjadi anemia dan syok, denyut jantung janin tidak terdengar dan pada pemeriksaan palpasi perut ditemui kesulitan dalam meraba bagian-bagian janin (18).

Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta antara lain :

1. Anamnesis (5,19)

Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat menunjukkan tempat yang dirasa paling sakit.

Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan sekonyong-konyong (non-recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman .

Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak bergerak lagi).

Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam.

Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.

2. Inspeksi (5,19)

Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.

Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.

Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).

3. Palpasi (5,19,20)

Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.

Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his.

Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.

Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.

4. Auskultasi (5,19)

Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari satu per tiga bagian.

5. Pemeriksaan dalam (19)

Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.

Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun di luar his.

Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering meragukan dengan plasenta previa.

6. Pemeriksaan umum (5,19,20)

Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil dan filiformis.

7. Pemeriksaan laboratorium (19,20)

Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan leukosit.

Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test. Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation test) tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 15O mg%).

8. Pemeriksaan plasenta (13).

Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang biasanya menempel di belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplacenter.

9. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG) (20,21)

Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain :

Terlihat daerah terlepasnya plasenta

Janin dan kandung kemih ibu

Darah

Tepian plasenta

Gambar 2. 3 Ultrasonografi kasus solusio plasenta (21).


2. 9 Terapi

Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis, yaitu:

a. Solusio plasenta ringan

Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan (2).

Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinan (4,22).

b. Solusio plasenta sedang dan berat

Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria (5).

Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan (5). Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana. Persalinan juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk memperbaiki kontraksi uterus yang mungkin saja telah mengalami gangguan (3,4, 20).

Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang terjadi adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat tertolong dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang, pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia, menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan darah (19).

Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan pembekuan darah (19).

Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria (5,17).

Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria maka tindakan histerektomi perlu dilakukan (5).

2. 10 Prognosis

Prognosis ibu tergantung luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya perdarahan, ada atau tidak hipertensi menahun atau preeklamsia, tersembunyi tidaknya perdarahan, dan selisih waktu terjadinya solusio plasenta sampai selesainya persalinan. Angka kematian ibu pada kasus solusio plasenta berat berkisar antara 0,5-5%. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh perdarahan, gagal jantung dan gagal ginjal (5).

Hampir 100% janin pada kasus solusio plasenta berat mengalami kematian. Tetapi ada literatur yang menyebutkan angka kematian pada kasus berat berkisar antara 50-80%. Pada kasus solusio plasenta ringan sampai sedang, keadaan janin tergantung pada luasnya plasenta yang lepas dari dinding uterus, lamanya solusio plasenta berlangsung dan usia kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 ml biasanya menyebabkan kematian janin. Pada kasus-kasus tertentu tindakan seksio sesaria dapat mengurangi angka kematian janin (5).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3. 1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif dengan melihat dan mencatat kembali data dari catatan rekam medik pasien yang pernah dirawat di Bagian Obstetri dan Ginekologi yang tercatat di bagian Rekam Medik RSUD Arifin Acmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

3. 2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2006 sampai dengan Januari 2007 di bagian Obstetri dan Ginekologi dan di bagian Rekam Medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

3. 3 Populasi dan Sampel

3. 3. 1 Populasi

Semua penderita kasus obstetri yang pernah dirawat di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

3. 3. 2 Sampel

Semua penderita solusio plasenta yang pernah dirawat di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

3. 4 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

3. 4. 1 Kriteria Inklusi

Semua penderita yang didiagnosis sebagai solusio plasenta oleh dokter ahli obstetri dan ginekologi dan memiliki catatan rekam medik yang di dalamnya mencakup variabel penelitian, yaitu :

1. Jumlah kasus solusio plasenta

2. Umur ibu

3. Paritas ibu

4. Kejadian hipertensi dalam kehamilan

5. Riwayat trauma abdomen selama kehamilan

6. Jenis tindakan persalinan yang dilakukan

7. Luaran ibu saat keluar dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru

8. Luaran bayi yang dilahirkan saat keluar dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

3. 4. 2 Kriteria Eksklusi

Semua penderita yang tidak memiliki catatan rekam medik yang di dalamnya mencakup variabel penelitian yang tertera di kriteria inklusi.

3. 5 Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan melihat kembali semua catatan rekam medik tentang kasus solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

3. 6 Pengolahan dan Penyajian Data

Data diolah secara manual, kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan diagram.

3. 7 Definisi Operasional

1. Solusio Plasenta dalam penelitian ini adalah semua kasus obstetri yang didiagnosis oleh dokter ahli obstetri dan ginekologi sebagai solusio plasenta.

2. Jumlah kasus solusio plasenta adalah jumlah total kasus solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

3. Umur ibu adalah usia (dalam tahun) yang tercatat di bagian Rekam Medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006, dikelompokkan menjadi :

a) <>

b) 20-24 tahun

c) 25-29 tahun

d) 30-34 tahun

e) ≥ 35 tahun

4. Paritas adalah frekuensi proses persalinan yang telah dilakukan ibu yang tercatat di bagian Rekam Medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006, dikelompokkan menjadi :

a) Paritas 1

b) Paritas 2-4

c) Paritas ≥ 5

5. Kejadian hipertensi dalam kehamilan, dikelompokkan menjadi :

a) Hipertensi : Tekanan darah saat masuk RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, sistolik > 160 mmHg dan atau diastolik > 95 mmHg.

b) Tidak hipertensi

6. Riwayat trauma abdomen adalah kejadian trauma abdomen yang pernah dialami ibu penderita solusio plasenta selama dalam masa kehamilan sebelum datang dan dirawat di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006, dikelompokkan menjadi :

a) Ada (jatuh/kecelakaan, diurut dukun, dan lain-lain)

b) Tidak ada

7. Jenis persalinan adalah macam tindakan persalinan yang dilakukan terhadap ibu penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006, dikelompokkan menjadi :

a) Pervaginam

b) Perabdominal, yang dibagi lagi atas :

Seksio sesaria
Seksio sesaria + Histerektomi

8. Luaran ibu saat keluar adalah keadaan ibu yang tercatat di bagian Rekam Medik saat dinyatakan pulang dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006, dikelompokkan menjadi :

a) Sembuh

b) Meninggal

9. Luaran bayi yang dilahirkan saat keluar adalah keadaan bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita solusio plasenta yang tercatat di bagian Rekam Medik saat dinyatakan pulang dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006, dikelompokkan menjadi :

a) Hidup dengan keadaan baik

b) Hidup setelah mendapat perawatan yang intensif

c) Meninggal

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Selama lima tahun (1 Januari 2002 31 Desember 2006) di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru terdapat 12709 kasus obstetri (berdasarkan data di bagian Bina Program RSUD Arifin Achmad Pekanbaru) dan 33 diantaranya adalah kasus solusio plasenta.

Tabel 4. l Insiden Solusio Plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Tahun

Jumlah Kasus Solusio Plasenta

Jumlah Kasus

Obstetri

Insiden

(%)

2002

7

2386

0,29

2003

9

2353

0,38

2004

6

2490

0,24

2005

6

2597

0,23

2006

4

2883

0,14

Total 5 tahun

33

12709

0,26

Pada tabel 4. 1 di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2002 terdapat 7 kasus (0,29%) solusio plasenta dari 2386 kasus obstetri, 6 kasus (0,24%) dari 2490 kasus obstetri pada tahun 2004, 6 kasus (0,23%) dari 2597 kasus obstetri pada tahun 2005, 4 kasus (0,14%) dari 2883 kasus obstetri pada tahun 2006 dan insiden terbanyak terjadi pada tahun 2003 yaitu 9 kasus (0,38%) dari 2353 kasus obstetri. Jadi terdapat 33 (0,26%) kasus solusio plasenta dari 12709 kasus obstetri selama 5 tahun di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

Berdasarkan data yang diperoleh, angka kejadian solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru per tahunnya dalam periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 dapat dilihat pada diagram berikut :

Diagram 4. 1 Jumlah kasus solusio plasenta per tahun di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 desember 2006

Pada diagram 4. 1 di atas dapat dilihat bahwa kasus terbanyak terjadi pada tahun 2003 yaitu 9 kasus solusio plasenta, kemudian diikuti tahun 2002 dengan 7 kasus, tahun 2004 dan 2005 masing-masing 6 kasus solusio plasenta. Sedangkan jumlah kasus yang terendah didapatkan pada tahun 2006 yaitu sebanyak 4 kasus solusio plasenta yang terjadi pada tahun tersebut.

Dari total 33 kasus solusio plasenta yang didapat hanya 29 kasus solusio plasenta yang memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian ini. Sedangkan 4 kasus lainnya tidak diambil sebagai sampel penelitian karena tidak memilki catatan rekam medik yang di dalamnya tercatat semua variabel penelitian.

Tabel 4. 2 Distribusi Umur Penderita Solusio Plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Umur

(Tahun)

Frekuensi Solusio Plasenta

Persentase

(%)

<>

0

0

20-24

4

13,79

25-29

13

44,83

30-34

7

24,14

³ 35

5

17,24

Jumlah

29

10

Dari tabel 4. 2 tampak distribusi umur ibu dengan solusio plasenta terbanyak berkisar antara umur 25-29 tahun yaitu 13 penderita (44,83%), diikuti oleh kelompok umur 30-34 tahun sebanyak 7 penderita (24.14%), kelompok umur ³ 35 tahun sebanyak 5 penderita (17,24%) dan kelompok umur 20-24 tahun sebanyak 4 penderita (13,79%). Tidak ditemukan penderita solusio plasenta pada kelompok umur <20>

Dapat lebih diterangkan melalui diagram di bawah ini:


Diagram 4. 2 Distribusi umur pada penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

Tabel 4. 3 Distribusi Paritas Penderita Solusio Plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Paritas ibu

Frekuensi Solusio Plasenta

Persentase

(%)

Paritas 1

3

10,34

Paritas 2-4

18

62.06

Paritas ≥ 5

8

28

Jumlah

29

100

Dari tabel 4. 3 dapat diketahui distribusi paritas ibu dengan solusio plasenta. Ibu dengan paritas 1 (satu) didapatkan 3 orang (10,34%) menderita solusio plasenta, ibu dengan paritas 2-4 didapatka 18 orang (62,06%) menderita solusio plasenta dan ibu dengan paritas ≥ 5 didapatkan 8 orang (28%) menderita solusio plasenta.


Dapat dilihat lebih jelas pada diagram berikut :

Diagram 4. 3 Distribusi paritas pada penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa persentase ibu-ibu dengan paritas 2-4 adalah yang terbanyak menderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.


Tabel 4. 4 Distribusi Kejadian Hipertensi Dalam Kehamilan Pada Penderita Solusio Plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Hipertensi Dalam Kehamilan

Sampel

(n)

Persentase

(%)

Hipertensi

14

49,28

Tidak Hipertensi

15

50,72

Jumlah

29

100

Terlihat dari tabel 4. 4 bahwa dari seluruh penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 terdapat 14 orang (49,28%) menderita hipertensi dalam kehamilan sedangkan 15 orang (50,72%) tidak menderita hipertensi dalam kehamilan.

Dapat lebih jelas dilihat distribusinya bila disajikan dalam bentuk diagram di bawah ini :

Diagram 4. 4 Distribusi kejadian hipertensi dalam kehamilan pada penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Pada diagram 4. 4 di atas jelas terlihat bahwa 49,28% ibu-ibu penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 mengalami kejadian hipertensi dalam kehamilan dan 50,72% ibu-ibu penderita solusio plasenta lainnya tidak menderita kejadian hipertensi dalam kehamilan.


Tabel 4. 5 Distribusi Riwayat Trauma Abdomen Pada Penderita Solusio Plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Riwayat Trauma Abdomen

Sampel

(n)

Persentase

(%)

Ada

8

27,58

Tidak ada

21

72.42

Jumlah

29

100

Dari tabel 4. 5 di atas dapat dilihat sebanyak 8 ibu (27,58%) penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2005-31 Desember 2006 mempunyai riwayat trauma abdomen dan 21 penderita tidak mempunyai riwayat trauma abdomen(72,42%).

Akan lebih mudah dilihat distribusinya apabila disajikan dalam bentuk diagram berikut :

Diagram 4. 5 Distribusi riwayat Trauma abdomen pada penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa 27,58% ibu-ibu penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 mempunyai riwayat trauma abdomen.


Tabel 4. 6 Distribusi Jenis Persalinan yang Dilakukan Pada Penderita Solusio Plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Jenis Persalinan

Sampel

(n)

Persentase

(%)

Pervaginam

2

6,9

Perabdominal :

– Seksio Sesaria (SS)

22

75,8

– SS + Histerektomi

5

17,3

Jumlah

29

100

Dari tabel 4. 5 ini dapat dilihat bahwa jenis tindakan persalinan terbanyak yang dilakukan pada kasus solusio plasenta adalah seksio sesaria sebanyak 22 tindakan persalinan (75,8%), dikuti oleh tindakan SS + histerektomi sebanyak 5 tindakan persalinan (17,3%) dan pervaginam sebanyak 2 tindakan persalinan (6,9%).

Dalam bentuk diagram batang di bawah ini dapat dilihat lebih jelas perbedaan jumlah dari masing-masing tindakan :

Diagram 4. 6 Jenis persalinan yang dilakukan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru untuk penanganan penderita solusio plasenta periode Januari 2002-31 Desember 2006.

Terlihat jelas bahwa jenis persalinan terbanyak yang dilakukan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 untuk penanganan ibu-ibu penderita solusio plasenta adalah seksio sesaria.

Tabel 4. 7 Distribusi Luaran Ibu Penderita Solusio Saat Keluar dari Rumah Sakit pada Penderita Solusio Plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Luaran Ibu

Sampel

(n)

Persentase

(%)

Sembuh

27

93,1

Meninggal

2

6,9

Jumlah

29

100

Dari tabel 4. 7 di atas dapat diketahui bahwa dari total 29 ibu penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 200231 Desember 2006 ditemukan 27 ibu (93,1%) penderita solusio plasenta pulang dari rumah sakit dengan luaran sembuh, Sedangkan 2 ibu (6,9%) lainnya pulang dari rumah sakit dengan luaran meninggal.

Distribusinya dapat diperjelas dengan diagram berikut :

Diagram 4. 7 Luaran ibu saat keluar dari rumah sakit pada penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Dari diagram diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa 6,9% dari keseluruhan ibu penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tercatat meninggal dunia.

Tabel 4. 8 Distribusi Luaran Bayi yang Dilahirkan Oleh Penderita Solusio Plasenta Saat Keluar Dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006

Luaran Bayi

Sampel

(n)

Persentase

(%)

Hidup, dengan keadaan baik

3

10,35

Hidup setelah mendapat perawatan yang intensif

15

51,72

Meninggal

11

37,93

Jumlah

29

100

Pada tabel 4. 8 di atas terlihat bahwa luaran terbanyak pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh penderita solusio plasenta saat keluar dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru adalah dapat hidup setelah mendapat perawatan yang intensif yaitu sebanyak 15 bayi (51,72%). Bayi meninggal yang disebabkan oleh kasus solusio plasenta adalah sebanyak 11 bayi (37,93%), sedangkan yang hidup dengan keadaan baik hanya 3 bayi (10,35%) dalam periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.


BAB V

PEMBAHASAN

Pada periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 didapatkan bahwa pada tahun 2002 terdapat 7 kasus (0,29%) solusio plasenta dari 2386 kasus obstetri, tahun 2003 terdapat 9 kasus (0,38%) dari 2353 kasus obstetri, tahun 2004 terdapat 6 kasus (0,24%) dari 2490 kasus obstetri, tahun 2005 terdapat 6 kasus (0,23%) dari 2597 kasus obstetri dan pada tahun 2006 terdapat 4 kasus (0,14%) solusio plasenta dari 2883 kasus obstetri. Jadi terdapat 33 kasus (0,26%) solusio plasenta dari 12709 kasus obstetri selama 5 tahun. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihatnya penurunan insiden solusio plasenta dari tahun ke tahun. Hal ini dimungkinkan karena semakin baiknya antenatal care (ANC) pada ibu-ibu hamil yang datang untuk memeriksakan diri ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

Dari 33 kasus tersebut hanya 29 kasus yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Sedangkan 4 kasus dari 33 kasus tersebut tidak diambil sebagai sampel penelitian karena tidak memilki catatan rekam medik yang di dalamnya tercatat semua variabel penelitian.

Pada tabel 4. 2 terlihat bahwa berdasarkan umur penderita didapatkan penderita solusio plasenta terbanyak pada kelompok umur 25-29 tahun (44,83%) diikuti oleh kelompok umur 30-34 tahun (24,14%), kelompok umur ≥ 35 tahun (17,24%), kelompok umur 20-24 tahun (13,79%) dan tidak ada kasus solusio plasenta yang ditemukan pada kelompok umur <>. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Trijamot Racimhadhi di RSUPNCM yang mengatakan bahwa semakin tua umur ibu maka kemungkinan untuk terjadinya solusio plasenta menjadi lebih besar (5). Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor lain seperti hipertensi dalam kehamilan atau trauma abdomen yang terdistribusi pada ibu-ibu muda di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

Pada tabel 4. 3 terlihat bahwa sebagian besar kasus solusio plasenta terjadi pada ibu-ibu dengan paritas 2-4 (62,06%), diikuti oleh ibu-ibu dengan paritas ≥ 5 (28%). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dan penelitian Pritchard di Parkland Memorial Hospital yang menyatakan semakin tinggi paritas ibu maka semakin besar kemungkinan menderita solusio plasenta (3,5). Namun hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Blumenfelt (apabila pengelompokkan paritas dijadikan 2 (dua) kelompok saja yaitu primipara dan multipara) yang menyatakan solusio plasenta lebih banyak ditemukan pada ibu-ibu yang multipara dibandingkan dengan ibu-ibu yang primipara (19).

Pada tabel 4. 4 terlihat bahwa 49,28% kasus solusio plasenta penderitanya mempunyai kejadian hipertensi dalam kehamilan dan sisanya tidak mempunyai kejadian hipertensi dalam kehamilan (50,72%). Hal ini sesuai dengan penelitian Pritchard di Parkland Meorial Hospital yang melaporkan dari 408 kasus solusio plasenta setengahnya terjadi pada ibu-ibu dengan hipertensi menahun dan hipertensi dalam kehamilan (2,3). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Suryani di RSUP Dr. M.Djamil Padang yang melaporkan 44% dari ibu-ibu dengan solusio plasenta menderita hipertensi (15).

Pada tabel 4. 5 yang dapat diketahui bahwa pada 27,58% kasus solusio plasenta didapatkan adanya riwayat trauma adbomen dan 72,42% tidak didapatkan adanya riwayat trauma abdomen. Hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Slava di Amerika Serikat yang melaporkan trauma yang terjadi pada ibu (kecelakaan, pukulan, jatuh, dll) merupakan penyebab 1,5-9,4% dari seluruh kasus solusio plasenta (9), dan lebih tinggi pula dibandingkan hasil penelitian Trijatmo Rachimhadhi di RSUPNCM yang melaporkan 1,2% penderita solusio plasenta memiliki riwayat trauma (5).

Dari tabel 4. 6 Diketahui bahwa jenis tindakan persalinan yang terbanyak dalam penanganan kasus solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru adalah seksio sesaria (75,8%), diikuti oleh tindakan seksio sesaria + histerektomi 17,3% dan hanya 6,9% dilakukan tindakan persalinan pervaginam. Pada kasus tertentu seksio sesaria (perabdominal) dapat mengurangi angka kematian janin (5). Blumenfelt dan Trijatmo Rachimhadhi dalam bukunya menyatakan bahwa persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya cara untuk melakukan persalinan adalah seksio sesaria (5,19). Tindakan seksio sesaria + histerektomi (17,3%) pada 3 (tiga) ibu penderita solusio plasenta di RSUD Arfin Achmad Pekanbaru dilakukan atas indikasi perdarahan ibu yang hebat/tidak terkendali, sedangkan 2 (dua) ibu penderita yang lain dilakukan atas indikasi terjadinya apoplexi uteroplacenta (Uterus Couvelaire). Prawiroharjo dalam bukunya menyatakan bahwa apoplexi uteroplacenta tidak merupakan indikasi dari histerektomi, akan tetapi apabila terjadinya atonia uteri atau perdarahan yang tidak dapat dikendalikan setelah tindakan seksio sesaria maka tindakan histerektomi perlu dilakukan (1,5).

Dari data yang diperoleh di bagian Rekam Medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2002-31 Desernber 2006, 6,9 % ibu dengan solusio plasenta meninggal dunia. Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang dilakukan Deering di Amerika Serikat yang melaporkan 6% dari kejadian solusio plasenta menyebabkan kematian ibu (12) dan penelitian yang dilakukan Prawirohardjo yang melaporkan angka kematian ibu pada kasus solusio plasenta berkisar antara 0,5-5% (5). Dari 2 (dua) orang penderita yang meninggal (6,9%), 1 (satu) di antaranya meninggal sebelum dilakukan/mendapatkan penatalaksanaan yang lebih lanjut dikarenakan penolakan penderita untuk tindakan seksio sesaria, sedangkan satu penderita lainnya meninggal setelah dilakukan tindakan seksio sesaria dan tercatat dalam statusnya bahwa bayinya dapat hidup. Dugaan dokter mengenai penyebab kematian penderita tersebut adalah emboli. Di sini terlihat perlunya kesadaran masyarakat terhadap kedaruratan kasus solusio plasenta serta diperlukannya penanganan yang tepat pada kasus-kasus solusio plasenta untuk dapat mencegah terjadinya kematian ibu.

Bayi yang dilahirkan dari solusio plasenta dalam penelitian ini 37,73% meninggal dunia, 51,72% dapat hidup setelah mendapat perawatan yang intensif dan hanya 10,35% yang hidup dengan keadaan baik. Menurut penelitian Trijatmo Rachimadhi 50-80% janin pada kasus solusio plasenta mengalami kematian. Keadaan janin tergantung pada luasnya plasenta yang terlepas dari implantasinya di uterus, lamanya terjadi solusio plasenta dan tuanya kehamilan (5). Sementara itu hasil penelitian yang dilakukan Suryani di RSUD Dr. M. Djamil Padang diketahui bahwa 90% bayi dari penderita solusio plasenta meninggal dunia.

Di sini dapat diketahui bahwa sangat pentingnya diagnosis yang dini dan penatalaksanaan yang tepat terhadap kasus-kasus solusio plasenta untuk dapat mengurangi tingginya angka kematian ibu penderita solusio plasenta dan bayi yang dikandungnya.


BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6. 1 Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Selama 5 tahun (1 Januari 2002-31 Desember 2006) terdapat 12709 kasus obstetri dan 33 di antaranya adalah kasus solusio plasenta (0,26%).

2. Angka kejadian tertinggi kasus solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad pekanbaru didapatkan pada penderita dengan kelompok umur 25-29 tahun (44,83%) ditinjau dari umur penderita dan penderita dengan paritas 2-4 (62,06%) ditinjau dari paritas penderita.

3. Hipertensi dalam kehamilan terjadi pada 49,28% kasus solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

4. Penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 yang mempunyai riwayat trauma abdomen ditemukan sebanyak 27,58%.

5. Jenis tindakan persalinan yang terbanyak dalam penanganan penderita solusio plasenta di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006 adalah tindakan seksio sesaria (75,8%).

6. Dari seluruh ibu penderita solusio plasenta ditemukan 6,9% meninggal dunia.

7. Sebagian besar bayi dari penderita solusio plasenta dapat hidup setelah mendapat perawatan yang intensif (51,72%) dan 37,93% bayi meninggal.

6. 2 Saran

1. Memberikan pendidikan, latihan dan keterampilan kepada tenaga-tenaga kesehatan agar dapat mengenal kasus-kasus solusio plasenta lebih dini sehingga dapat mengurangi angka terjadinya kematian ibu dan janinnya.

2. Memberikan pengertian kepada masyarakat terutama ibu-ibu tentang pentingnya memeriksakan kehamilannya dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kasus solusio plasenta.

3. lbu-ibu yang mempunyai faktor-faktor resiko untuk terjadinya solusio plasenta agar waspada dan selalu memeriksakan kehamilannya kepada tenaga ahli secara teratur.

4. Menyarankan kepada Palang Merah Indonesia (PMI) ada di RSUD Arifin Acmad Pekanbaru agar kebutuhan darah dapat terpenuhi dengan mudah dan cepat.

5. Agar dilakukan perbaikan dalam penulisan dan kelengkapan catatan rekam medik penderita di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.


DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S, Hanifa W. Kebidanan Dalam Masa Lampau, Kini dan Kelak. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 3-21.

2. Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. Obstetrical Haemorrhage. Wiliam Obstetrics 21th edition. Prentice Hall International Inc Appleton. Lange USA. 2001; 819-41.

3. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 20th ed. R Hariadi, R Prajitno Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi 20. Surabaya: Airlangga University Press, 2001; 456-70.

4. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Geneva: WHO, 2003. 518-20.

5. Rachimhadhi T. Perdarahan Antepartum. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 362-85.

6. Ariani DW, Astari MA, Anita H, et al. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku tentang Kehamilan, Persalinan, serta Komplikasinya pada Ibu Hamil Nonprimigravida di RSUPN Cipto Mangunkosumo. Majalah Kedokteran Indonesia vol 55, 2005; 631-38.

7. Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum. Bagian Obstetri danGinekologi FK UNHAS; 1997. 3-8.

8. Slava VG. Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2006 [2006 August 29]; Topic12:[9 screens]. Available from:URL: http://www.emedicine.com /emerg/topic12.htm.

9. Abdul BS. Kematian maternal. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002; 22-4.

10. WebMD Medical Reference from Healthwise. Emerg [Online] 2006 Marcr [2007 January 20]; Topic154:[9 screens]. Available from:URL: http://www.webmd.com /hw/health_guide_atoz/aa154125.asp

11. Pernoll ML. Third Trimester Hemorrhage. Dalam : Current Obstetric & Gynecologic, 10th ed. USA: Appleton & Lange, 1999; 400-44.

12. Deering SH. Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2005 [2006 August 31]; Topic6:[11 screens]. Available from:URL: http__www.emedicine.com_med_topic6.htm

13. Ducloy AS, de Flandre FJ, O’Lambret A. Obstetric Anaesthesia-Placental Abruption [Online] 2005 November [2006 August 31]; 417_01:[5 screens]. Available from:URL: http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1417_01.htm

14. Suryani E. Solusio Plasenta di RSUP. Dr.M.Djamil padang selama 2 tahun (1 Januari 2002-31 Desember 2004). Skipsi. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, 2004; 1-40.

15. Moechtar R. Pedarahan Antepartum. Dalam: Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998; 279-7.

16. Chalik TMH. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika, 1997; 109-26.

17. Maryuni SW. Ancaman Rokok terhadap Kehamilan. Informatika Kedokteran [Online] 2005 [Pekanbaru 2006 June 2] Available from:URL: http://www.riaupos.com.

18. Mayo Foundation for Medical Education and Research [Online Database] 1998 August [Pekanbaru 2007 January 20]. Available from:URL: http://www.mayoclinic.com /health/placental-abruption/DS00623.

19. Blumenfelt M, Gabbe S. Placental Abruption. In: Sciarra Gynecology and Obstetrics; Revised Ed, 1997. Philadelphia: Lippincott Raven Publ, 1997; 1-17.

20. The University of Virginia [Online Database] 2004 February [Pekanbaru 2007 January 20]. Available from:URL : http://www.healthsystem.virginia.edu/uvahealth/pedshr pregnant/bleed.cfm

21. Department of Obstetrics & Gynecology, Division, Maternal-Fetal Medicine, University of Connecticut Health Center [Online Database] 2006 February [2007 February 11]; Topic 8:[2 screens]. Available from:URL: www. library.med.utah .edu /hrob_ultrasound01.html

22. Moses S. Placental Abruption/Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2006 December [2007 January 20]; Topic13:[11 screens]. Available from:URL: http://www. fpnotebook.com /OB13.htm

Juli 16, 2008 Posted by | KTI, Kuliah, Penelitian | , , | Tinggalkan komentar

Penanganan Pasien Post Laparatomy Atas Indikasi Ileus Obstruksi di ICU

INTENSIVE CARE UNIT

Pendahuluan

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah, dengan staf dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit- yang mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa dengan prognosis dubia. ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut.1

Kematian pasien yang mengalami pembedahan terbanyak timbul pada saat pasca bedah. Pada sekitar tahun 1860, Florence Nightingale mengusulkan untuk melanjutkan pengawasan pasien yang ketat selama intraoperatif oleh anestesis sampai ke masa pasca bedah. Dimulai sekitar tahun 1942, Mayo Clinic membuat suatu ruangan khusus dimana pasien-pasien pasca bedah dikumpulkan dan diawasi sampai sadar dan stabil fungsi-fungsi vitalnya, serta bebas dari pengaruh sisa obat anestesi. Keberhasilan unit pulih sadar merupakan awal dipandang perlunya untuk melanjutkan pelayanan serupa tidak pada masa pulih sadar saja, namun juga pada masa pasca bedah.1

Pada saat ini ICU modern tidak terbatas menangani pasien pasca bedah atau ventilasi mekanis saja, namun telah menjadi cabang ilmu sendiri yaitu intensive care medicine. Ruang lingkup pelayanannya meliputi pemberian dukungan fungsi organ-organ vital seperti pernapasan, kardiosirkulasi, susunan saraf pusat, renal dan lain-lainnya, baik pada pasien dewasa atau pasien anak.1

Indikasi ICU

Indikasi Pasien dirawat di ICU2 :

1. Pasien sakit berat, kritis, dan tidak stabil misal pasien pasca operasi bedah mayor

2. Pasien yang memerlukan pemantauan intensive

3. Pasien yang mengalami komplikasi akut seperti : Edema paru ( kardiogenik dan non kardiogenik )

Indikasi pasien keluar dari ICU2 :

1. Pasien tidak memerlukan lagi terapi intensive karena membaik dan stabil

2. Terapi intensive tidak bermanfaat pada :

Pasien Usia lanjut ( > 65 tahun) yang mengalami gagal tiga organ atau lebih, setelah di ICU selama 72 jam

Pasien mati batang otak/koma yang mengalami keadaan vegetatif

Pasien dengan berbagai macam diagnosis seperti penyakit paru Obstruksi menahun, kanker dengan metastasis dan gagal jantung terminal

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sangat sering terjadi pada pasien usia lanjut (usila). Gangguan tersebut meliputi dehidrasi, hipernatremia, hiponatremia. Dalam penatalaksanaan keseimbangan cairan dan elektrolit pada usila, pengertian mengenai perubahan fisiologi yang menjadi faktor predisposisi gangguan tersebut sangat penting. Secara umum, terjadi penurunan kemampuan homeostatik seiring bertambahnya usia. Secara khusus terjadi penurunan respon haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmolaritas. Disamping itu terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan penurunan respon ginjal terhadap vasopresin. Peningkatan kadar atrial natriuretic peptide (APN) akan menyebabkan supresi sekresi renin ginjal, aktivitas renin plasma, angiotensin II plasma dan kadar aldosteron. Selain efek kehilangan natrium dari ginjal secara tidak langsung ini APN juga menimbulkan akibat hilangnya natrium dari ginjal melalui kerja natriuretik langsungnya sehingga terjadi gangguan kapasitas ginjal untuk menahan natrium3

Sebagai konsekuensi perubahan-perubahan ini, kapasitas seseorang yang berusia lanjut menghadapi berbagai penyakit, obat-obatan dan stres fisiologis menjadi berkurang sehingga meningkatkan resiko timbulnya perubahan keseimbangan cairan dan natrium yang signifikan secara klinis3

Cairan tubuh

Total cairan tubuh bervariasi menurut umur, berat badan dan jenis kelamin. Cairan terrgantung lemak tubuh. Lemak tubuh tidak berair, semakin banyak lemak semakin kurang cairan. Laki-laki dewasa normal yang berlemak sedang, megandung cairan kira-kira 60 % BB. Wanita normal dewasa kira-kira 54 % BB.4

1. Kompartemen

Secara fungsional dibagi 2 kompartemen utama, yaitu kompartemen intra seluler dan ekstraseluler. Kompartemen intraseluler kira-kira 40 % BB. Kompartemen ekstraseluler terdiri dari 5 % cairan plasma dan 15 % cairan interstisial. Kompartemen transeluler, merupakan kompartemen tambahan, terdiri dari hasil metabolisme sel, bahan-bahan sekresi gastrointestinal dan urine.4

2. Isi cairan tubuh

Ada 2 jenis bahan yang terlarut di dalam cairan tubuh, yaitu elektrolit dan non elektrolit. Non elektrolit ialah molekul-molekul yang tetap tidak berubah menjadi partikel, terdiri dari dekstrose, ureum dan kreatinin. Elektrolit ialah molekul-molekul yang pecah menjadi partikel bermuatan listrik (ion) yakni kation dan anion. Jumlah total kation selalu sama dengan anion. Pada ekstraseluler (plasma dan interstisial) konsentrasi NaCl dan bikarbonat lebih tinggi dan kalium rendah. Pada intraseluler, konsentrasi K, Mg dan HPO4 lebih tinggi sedang Na dan Cl relatif rendah. Komposisi elektrolit plasma dan interstisial hampir sama, kecuali di dalam interstitial tidak mengandung protein. Karena konsentrasi elektrolit dalam plasma mudah dinilai, maka analisa plasma merupakan pedoman terapi yang penting. Fungsi elektrolit adalah ikut mengatur volume cairan tubuh melalui tekanan osmotik dan mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh.4

Pengaruh stress terhadap metabolisme

Akibat stess anestesi dan pembedahan, terjadi kecenderungan retensi cairan, kehilangan K, retensi Na, kecenderungan asidosis, metebolisme energi seperti diabetes, terjadi katabolisme protein dan pengurang sintesa protein. Mengingat keadaan metabolisme pasca stress pembedahan menyebabkan timbulnya keadaan osmotik hipotonik akibat ADH yang dapat menimbulkan hiperaldosterone sekunder, maka untuk menghindari perlu diberikan cairan yang mengandung Na lebih tinggi4.

Pemberian cairan pasca bedah

  1. Hari 1-3 pasca bedah diberikan :

2000 ml dextrose 5 % dan 500 ml NaCl. Total intake cairan disesuaikan dengan BB (40 ml/kgBB)

Minimal kalori untuk pencegahan katabolisme protein dan lemak 400 kalori

Perhitungan kebutuhan elektrolit terutama setelah 3 hari, dimana produksi urin biasanya bertambah banyak.

  1. Bila ada larutan tutofusin OPS yang mengandung cukup elektrolit dan sorbitol sebagai sumber karbohidrat, dapat diberikan 40 ml/kgBB/hari untuk 1-3 hari pertama pasca bedah.
  2. Bila diperlukan lebih lama pemberian cairan untuk nutrisi, maka dapat ditambahkan asam amino berupa Aminofusin yang kebutuhannya disesuaikan dengan BB dan besarnya trauma. Kebutuhan asam amino rata-rata 1 gr/kgBB/hari. Aminofusin L 600, mengandung 50 gr asam amino/liter dan 600 kalori/liter. 4

ILEUS

Definisi

Ileus Obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik.5

Etiologi

adapun etiologi dari ileus obstruksi ialah :

a) Adhesi

b) Hernia inkarserata

c) Askariasis

d) Tumor

e) Lain-lain :

· Radang khronik (TBC)

· Divertikulum meckel

· Invaginasi

· Volvulus

· Obstruksi makanan 6

Etiologi Ileus Obstruksi6

Patofisiologi7

Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik di mana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.

Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus dapat dilihat pada Gambar-3. Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari, tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok—hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia.

Diagnosis 8,9

1. Subyektif –Anamnesis

Gejala Utama:

· Nyeri-Kolik: kolik dirasakan disekitar umbilikus

· Muntah : Berwarna kehijauan

· Perut Kembung (distensi)

· Konstipasi : dapat tidak ada defekasi, dan flatus

· Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak dapat kembali menandakan adanya hernia inkarserata

· Invaginasi dapat didahului oleh riwayat buang air besar berupa lendir dan darah.

· Riwayat operasi sebelumnya dapat menjurus pada adanya adhesi usus

· Onset

o keluhan yang berlangsung cepat dapat dicurigai sebagai ileus letak tinggi

o onset yang lambat dapat menjurus kepada ileus letak rendah.

2. Obyektif-Pemeriksaan Fisik

Inspeksi

Perut distensi, dapat ditemukan darm kontur dan darm steifung. Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Invaginasi dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi sebelumnya

Auskultasi

Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi. Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang

Perkusi Hipertimpani

Palpasi

Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia.

Rectal Toucher

Ø Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease

Ø Darah (+) ; strangulasi, neoplasma

Ø Feses yang mengeras : skibala.

Ø Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi

Ø Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi.

Ø Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis

Radiologi Foto Polos:

Pelebaran udara usus halus atau usus besar dengan gambaran anak tangga dan air-fluid level.

Penggunaan kontras dikontraindikasikan adanya perforasi-peritonitis.

Barium enema diindikasikan untuk invaginasi

endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus

Penatalaksanaan 5,6,10

* Konservatif Penderita dirawat di rumah sakit dan dipuasakan

Kontrol status airway, breathing and circulation.

Dekompresi dengan nasogastric tube.

Intravenous fluids and electrolyte

Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.

* Farmakologis Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob. Analgesik apabila nyeri

* Operatif

Obstruksi usus dengan prioritas tinggi adalah strangulasi, volvulus, dan jenis obstruksi kolon.

Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk mencegah sepsis sekunder atau rupture usus.

Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi.

Komplikasi 6,9

Komplikasi dari ileus antara lain terjadinya nekrosis usus, perforasi usus, Sepsis, Syok-dehidrasi, Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi, Pneumonia aspirasi dari proses muntah, Gangguan elektrolit, Meninggal

Prognosis 6,9

Saat operasi, prognosis tergantung kondisi klinik pasien sebelumnya. Setelah pembedahan dekompresi, prognosisnya tergantung dari penyakit yang mendasarinya

ILUSTRASI KASUS

Ps Tn. Y, 64 th datang ke IGD RSUD AA pada tanggal 22 April 2008, dengan :

Keluhan Utama :

Perut Kembung sejak 1 mgg SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengeluhkan perut kembung sejak 7 hari SMRS, perut terasa sakit, hilang timbul seperti diremas, membengkak dan terasa tegang

Bab (-) sejak 1 minggu smrs

Flatus (-) sejak 1 minggu smrs

Mual dan muntah (-)

Bak tidak ada keluhan

Pasien sudah mengeluhkan adanya benjolan pada perut bagian kanannya sejak 10 tahun yll, terasa sakit saat bekerja keras, gangguan Bab (-)

Selama dirawat di RSUD, bab ada sedikit-sedikit seperti tahi kambing, pernah berdarah, warna kehitaman. Perut terasa semakin tegang, nyeri dan sulit bernafas sehingga pasien direncanakan untuk dilakukan laparatomi setelah 1 mg perawatan di RSUD.

Penurunan BB (+)

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat operasi sebelumnya (-)

Hipertensi sejak 1 tahun

DM (-)

Riwayat asma (-)

Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat alergi obat-obatan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Anak kandung pasien dinyatakan menderita tumor ganas pada bagian usus

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan Umum : Tampak lemah

Kesadaran : Komposmentis

Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah : 150/90 mmHg

Nadi : 50 x/’

Nafas : 18 x/’

Suhu : 37,7 oC

BB : 40 kg

Kepala :

Konjunctiva : Tidak anemis

Sklera : Tidak ikterik

Mulut : Gigi palsu (-), gigi goyah (-), gigi tidak menonjol

Maxilla dan mandibula tidak menonjol dan tidak ada fraktur

Hidung : Deviasi septum (-), penyumbatan (-), perdarahan (-)

Leher : JVP 5-2 cmH2O

Kelenjar tiroid tidak membesar

Dada :

Jantung

Insp : Iktus cordis tidak tampak

Palp : Iktus teraba di RIC V 1 jari kemedial linea mid clavicula sinistra

Perk : Dalam batas normal

Ausk : Bunyi jantung normal, frek 60x/’, teratur, suara tambahan (-)

Paru

Insp : Gerak kedua dinding dada simetris

Tipe pernafasan abdomino-torakal, frek nafas 18x/’

Dalam pernafasan normal

Palp : Fremitus kanan = kiri

Perk : Sonor

Ausk : Suara nafas vesikuler N, suara tambahan (-)

Punggung : Dalam batas normal

Abdomen : Status Lokalis

Genitourinarius : Terpasang kateter no 18 , urine berwarna kuning jernih, darah (-)

Ekstremitas : Dalam batas normal

Status Lokalis

o Inspeksi : Tampak buncit

o Auskultasi : BU (+) meningkat

o Perkusi : Hipertimpani pada semua region abdomen

o Palpasi : Nyeri tekan pada semua regio, distensi abdomen, Hepar dan lien tidak teraba

Pemeriksaan Laboratorium :

Hb 12,1 gr % Ht 36 vol%

Leukosit 7800/mm3

Na 132 Ca 0,89

K 4,2

Diagnosis : Ileus Obstruksi ec suspect tumor colon ascendent dengan ASA III

Rencana Penatalaksanaan : Laparatomi explorasi dengan General anestesi

Dilakukan operasi tanggal 29/04/08

Diagnosis post operative : Tumor pada Colon Ascendens

Instruksi post operative : Pasien dirawat di ICU

Follow up pasien selama di ICU

Tgl 29/04/08

KU : Pasien tampak lemah

Kesadaran : Composmentis (GCS 15)

Vital sign : Td : 142/94 mmhg Hr : 59 x/i

Rr : 18 x/i T : 37,7 C

Saturasi Oksigen : 100%

Balance cairan : + 1050

Intake :

Puasa 3 hari

IVFD RL : D5% 3:1 30 gtt/i

Terapi :

Inj. Ceftriaxon 1×2 gr

Inj Ranitidin 3×1 amp

Metronidazol 3 x 500 mg

Inj Ketorolac 2×1 amp

Tgl 30/04/08

Kesadaran : CM

Vital sign : Td : 146/80 mmhg Hr : 71 x/i

Rr : 22 x/i T : 37 C

Saturasi Oksigen : 99%

Balance cairan : + 1100

Intake :

Puasa hari ke 2

IVFD RL : D5% 3:1 20 gtt/i

Tiofusin 1 fls/hari

Kaltamin 1 fls/hari

Terapi :

lanjut

Tgl 01/05/08

Kesadaran : CM

Vital sign : Td : 170/90 mmhg Hr : 56 x/i

Rr : 24 x/i T : 37 C

Saturasi Oksigen : 99%

Balance cairan : + 650 cc

Intake :

Puasa hari ke 3

IVFD RL : D5% 3:1 20 gtt/i

Tiofusin 1 fls/hari

Kaltamin 1 fls/hari

Tutofusin 5 fls/hari

Terapi :

lanjut

Tgl 02/05/08

Kesadaran : CM

Vital sign : Td : 159/94 mmhg Hr : 56 x/i

Rr : 20 x/i T : 37,8 C

Saturasi Oksigen : 100%

Balance cairan : + 1000 cc

Intake :

Makanan cair 3x 100 cc

IVFD RL : D5% 3:1 20 gtt/i

Tiofusin 1 fls/hari

Terapi :

lanjut

Alinamin F 3×1 amp

OBH 3×1 cth

Lab :

Albumin 2 gr/dl (3,5-5)

TP 4,2 gr/dl (6,7-8,7)

Tgl 03/05/08

Kesadaran : CM

Vital sign : Td : 150/80 mmhg Hr : 55 x/i

Rr : 22 x/i T : 37C

Saturasi Oksigen : 99%

Balance cairan : – 550 cc

Intake :

MC 3 x 50

IVFD RL : D5% 3:1 20 gtt/i

Tiofusin 1 fls/hari

Plasbumin 1 fls/hr (3 hari)

Terapi :

Lanjut

Tgl 05/05/08

Kesadaran : CM

Vital sign : Td : 143/73 mmhg Hr : 87 x/i

Rr : 22 x/i T : 37,7 C

Saturasi Oksigen : 99%

Balance cairan : -890 cc

Intake : sama dengan hari sebelumnya

Terapi : lanjut

Lab :

Hb 10,8 gr %

Leu 7800/mm3

T 287000/mm3

Tgl 06/05/08

Kesadaran : CM

Vital sign : Td : 143/73 mmhg Hr : 57 x/i

Rr : 22 x/i T : 37 C

Saturasi Oksigen : 99%

Balance cairan : -1640 cc

Intake : sama dengan hari sebelumnya

Terapi : lanjut

Pemeriksaan elektrolit :

Na 128

K 3,8

Ca 0,49

Tgl 07/05/08

Kesadaran : CM

Vital sign : Td : 143/73 mmhg Hr : 87 x/i

Rr : 22 x/i T : 36 C

Saturasi Oksigen : 99%

Balance cairan : -890 cc

Intake : sama dengan hari sebelumnya

Terapi : lanjut

PEMBAHASAN

Pasien Y, Pria 69 tahun dirawat dengan diagnosis post laparatomi e.c suspect ca colon ascenden dengan general anestesi. Pada kasus ini diperlukan pengelolaan post operative yang intensive dengan monitoring di ICU karena operasi laparatomi memiliki komplikasi antara lain terjadinya ventilasi paru yang tidak adekuat, gangguan kardiovaskuler dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang sangat sering terjadi pada pasien usia tua, hal tersebut terjadi karena penurunan respon haus terhadap kondisi hipovolemik dan osmolaritas, terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus , kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron penurunan respon ginjal terhadap vasopressin, terjadi gangguan kapasitas ginjal untuk menahan natrium

Pengelolaan pasien di ICU meliputi tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti : Airway (fungsi jalan napas), Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak) dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif. Pada kasus ini air way patent , breathing spontan, fungsi ini dimonitor memakai alat. Pada pasien ini fungsi sirkulasi harus mendapatkan perhatian yang paling khusus sesuai dengan komplikasi laparatomi yang telah diterangkan diatas. Brain pada pasien ini tidak mengalami gangguan dilihat dari kesadaran pasien yang baik dan kemampuan pasien menjawab pertanyaan saat anamnesis

Pada hari pertama sampai hari ke 5 di ICU balance cairan pasien positif > 650 ml/hari , berdasarkan literatur perbedaan intake dan output tidak lebih dari 400 cc/hari hal ini dapat diakibatkan karena pengelolaan cairan pasien yang kurang tepat, dan fungsi organ yang belum sempurna setelah operasi.

Berdasarkan literatur Pemberian cairan 1-3 hari pasca.bedah adalah sbb :

· Pemberian cairan Dekstrose 5% dan Nacl (4:1) dimana total intake disesuaikan dengan Berat badan pasien (40 ml/Kg BB)

Pada kasus ini BB pasien 40 kg intake harusnya dibatasi 1600 ml / 24 jam

· Bila ada larutan tutofusin yang mengandung cukup elektrolit dan sorbitol sebagai sumber karbohidrat, dapat diberikan 40 ml/kgBB/hari untuk 1-3 hari pertama pasca bedah.

· Bila diperlukan lebih lama pemberian cairan untuk nutrisi, maka dapat ditambahkan asam amino berupa Aminofusin yang kebutuhannya disesuaikan dengan berat badan, rata-rata 1 gr/kgBB/hari.

Pada pasien ini tiofusin mulai diberikan pada hari ke 2 pasca bedah, sedangkan pemberian tutofusin diberikan pada hari ke 3 pasca bedah. Pada pasien ini dianjurkan puasa sampai hari ke 3 karena menurut teori pada kasus-kasus bedah digestif butuh waktu 3 hari untuk penyembuhan luka.

Pada hari ke 6 – 8 didapatkan balance cairan negatif > 800ml/hari. Hal ini disebabkan karena intakenya tetap seperti hari sebelumnya sedangkan produksi urine meningkat hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan urin setelah hari ke 3 akan lebih banyak diproduksi

Pada hari ke 7 didapatkan hasil pemeriksaan elektrolit dalam batas normal, untuk air way dan breathing baik dilihat dari nilai saturasi oksigen dan vital sign. Keadaan ini menunjukkan pasien sudah mulai stabil sehingga dapat keluar dari ICU

DAFTAR PUSTAKA

  1. Pelayanan Intensive Care. http://www.perdici.org/standard/standard-old/page4/page/4/. (Diakses 1 Mei 2008)
  2. Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wahyu IW dan setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2 Edisi 3, Jakarta: Media aesculapius, 2001

  1. Intensive Care Unit. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 1989

  1. Rahayu Rejeki handayani, bahar asril. Buku ajar ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Pendidikan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jilid III edisi IV ; 2007. 1405-1410
  2. Anonym. Mechanical Intestinal Obstruction. http://www.Merck.com.(Diakses 1 januari 2008)
  3. Hamami, AH., Pieter, J., Riwanto, I., Tjambolang, T., dan Ahmadsyah, I. Usus Halus, apendiks, kolon, dan anorektum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003. Hal: 615-681.
  4. Price, S.A. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price, S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline. Jakarta: EGC, 1994.
  5. Browse, Norman, L. An Introduction to the Symptoms and Signs of Surgical Disease. 3rd Edition. London: Arnold, 1997.
  6. Fiedberg, B. and Antillon, M.: Small-Bowel Obstruction. Editor: Vargas, J., Windle, W.L., Li, B.U.K., Schwarz, S., and Altschuler, S. http://www.emedicine.com. Last Updated, January 11, 2008.
  7. Levine, B.A., and Aust, J.B. Kelainan Bedah Usus Halus. Dalam Buku Ajar Bedah Sabiston’s essentials surgery. Editor: Sabiston, D.C. Alih bahasa: Andrianto, P., dan I.S., Timan. Editor bahasa: Oswari, J. Jakarta: EGC, 1992.

Juli 16, 2008 Posted by | kuliahbidan, Penelitian | | Tinggalkan komentar

Gambaran Kasus Kehamilan Ektopik Terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Provinsi Riau Periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005

ABSTRAK

GAMBARAN KASUS KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU DI BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU

PERIODE 1 JANUARI 2003-31 DESEMBER 2005



Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kasus kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005. Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Data dikumpulkan dengan melihat kembali semua catatan medik kasus kehamilan ektopik terganggu yang tercatat di bagian Rekam Medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Data dikumpulkan dan diolah secara manual, kemudian disajikan dalam bentuk diagram dan tabel distribusi frekuensi.

Dari hasil penelitian diperoleh 7498 jumlah kebidanan termasuk 133 diantaranya adalah kehamilan ektopik terganggu (1,77%), Penderita kehamilan ektopik terganggu yang terbanyak terdapat pada umur 30-34 tahun (40,60%) dengan paritas penderita 1 sebanyak (35,34%). Lokasi kehamilan ektopik terganggu terbanyak adalah pada daerah ampula tuba (82,70%) dimana jumlah ibu yang meninggal (1,5%).


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri (1). Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu (2).

Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi di tuba (90%) terutama di ampula dan isthmus (3). Sangat jarang terjadi di ovarium, rongga abdomen, maupun uterus. Keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya kehamilan ektopik adalah penyakit radang panggul, pemakaian antibiotika pada penyakit radang panggul, pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim IUD (Intra Uterine Device), riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, infertilitas, kontrasepsi yang memakai progestin dan tindakan aborsi (4).

Gejala yang muncul pada kehamilan ektopik terganggu tergantung lokasi dari implantasi. Dengan adanya implantasi dapat meningkatkan vaskularisasi di tempat tersebut dan berpotensial menimbulkan ruptur organ, terjadi perdarahan masif, infertilitas, dan kematian. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas Ibu jika tidak mendapatkan penanganan secara tepat dan cepat (4).

Insiden kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada semua wanita terutama pada mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Selain itu, adanya kecenderungan pada kalangan wanita untuk menunda kehamilan sampai usia yang cukup lanjut menyebabkan angka kejadiannya semakin berlipat ganda (5).

Kehamilan ektopik terganggu menyebabkan keadaan gawat pada reproduksi yang sangat berbahaya. (6). Berdasarkan data dari The Centers for Disease Control and Prevention menunjukkan bahwa kehamilan ektopik di Amerika Serikat meningkat drastis pada 15 tahun terakhir. Menurut data statistik pada tahun 1989, terdapat 16 kasus kehamilan ektopik terganggu dalam 1000 persalinan (6). Menurut hasil penelitian yang dilakukan Cuningham pada tahun 1992 dilaporkan kehamilan ektopik terganggu ditemukan 19,7 dalam 100 persalinan (5).

Dari penelitian yang dilakukan Budiono Wibowo di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSUPCM) Jakarta pada tahun 1987 dilaporkan 153 kehamilan ektopik terganggu dalam 4007 persalinan, atau 1 dalam 26 persalinan. Ibu yang mengalami kehamilan ektopik terganggu tertinggi pada kelompok umur 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0% sampai 14.6% (1). Kasus kehamilan ektopik terganggu di RSUP dr. M. Djamil padang selama 3 tahun (tahun 1992-1994) ditemukan 62 kasus dari 10.612 kehamilan (4).

Menurut data yang diperoleh dari di Ruang Camar III bagian Rawat Inap Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, kasus kehamilan ektopik menduduki peringkat ke-8 dari 10 kasus Ginekologi terbanyak pada tahun 2004.

Beranjak dari hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran kasus kehamilan ektopik terganggu di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka timbul pertanyaan yang hendak dijawab, yaitu :

1. Berapa angka kejadian kehamilan ektopik terganggu di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 ?

2. Berapa angka kejadian kehamilan ektopik terganggu ditinjau dari umur ibu di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 ?

3. Berapa angka kejadian kehamilan ektopik terganggu ditinjau dari paritas ibu di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 ?

4. Dimanakah lokasi implantasi terbanyak dari kehamilan ektopik terganggu pada ibu yang dirawat di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 ?

5. Bagaimana luaran Ibu pada penderita kehamilan ektopik terganggu yang dirawat di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 ?

Berdasarkan hal di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana gambaran kasus kehamilan ektopik terganggu di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Mengetahui gambaran kasus kehamilan ektopik terganggu di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.

Tujuan Khusus

  1. Mengetahui angka kejadian kehamilan ektopik terganggu di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.
  2. Mengetahui distribusi umur penderita kehamilan ektopik terganggu di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.
  3. Mengetahui distribusi paritas Ibu pada penderita kehamilan ektopik terganggu di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.
  4. Mengetahui distribusi lokasi kehamilan ektopik terganggu pada penderita kehamilan ektopik terganggu di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.
  5. Mengetahui luaran Ibu dengan kehamilan ektopik terganggu saat keluar dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai sarana belajar dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama kuliah ke dalam permasalahan yang ada di tengah masyarakat serta menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat tentang faktor penyebab serta pencegahan kehamilan ektopik.

2. Memberikan gambaran mengenai kasus kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 sebagai masukan bagi aparat yang terkait dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan dan sebagai pertimbangan dalam pengelolaan di Rumah Sakit sehingga dapat menurunkan angka kematian Ibu.

3. Sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Histologi

2.1.1 Uterus

Uterus berbentuk seperti buah pir yang sedikit gepeng kearah muka belakang, ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga. Dindingnya terdiri dari otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar 5,25 cm dan tebal dinding 1,25 cm (6).

Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksi. Uterus terdiri dari fundus uteri, korpus dan serviks uteri. Fundus uteri adalah bagian proksimal dari uterus, disini kedua tuba falopii masuk ke uterus. Korpus uteri adalah bagian uterus yang terbesar, pada kehamilan bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin berkembang. Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut kavum uteri. Serviks uteri terdiri atas pars vaginalis servisis uteri dan pars supravaginalis servisis uteri. Saluran yang terdapat pada serviks disebut kanalis servikalis (4).

Secara histologis uterus terdiri atas tiga lapisan (4):

1) Endometrium atau selaput lendir yang melapisi bagian dalam

2) Miometrium, lapisan tebal otot polos

3) Perimetrium, peritoneum yang melapisi dinding sebelah luar. Endometrium terdiri atas sel epitel kubis, kelenjar-kelenjar dan jaringan dengan banyak pembuluh darah yang berkelok.

Endometrium melapisi seluruh kavum uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid pada seorang wanita dalam masa reproduksi. Dalam masa haid endometrium sebagian besar dilepaskan kemudian tumbuh lagi dalam masa proliferasi dan selanjutnya dalam masa sekretorik. Lapisan otot polos di sebelah dalam berbentuk sirkuler, dan disebelah luar berbentuk longitudinal. Diantara lapisan itu terdapat lapisan otot oblik, berbentuk anyaman, lapisan ini paling penting pada persalinan karena sesudah plasenta lahir, kontraksi kuat dan menjepit pembuluh darah. Uterus ini sebenarnya mengapung dalam rongga pelvis dengan jaringan ikat dan ligamentum yang menyokongnya untuk terfiksasi dengan baik (4).

2.1.2 Tuba Falopii

Tuba falopii terdiri atas (4):

1) Pars intersisialis, bagian yang terdapat pada dinding uterus.

2) Pars isthmika, bagian medial tuba yang seluruhnya sempit.

3) Pars ampularis, bagian yang berbentuk saluran agak lebar, tempat konsepsi terjadi.

4) Infundibulum, bagian ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan mempunyai fimbrae.

2.1.3 Fimbrae

Fimbrae penting artinya bagi tuba untuk menangkap telur kemudian disalurkan ke dalam tuba. Bagian luar tuba diliputi oleh peritoneum viseral yang merupakan bagian dari ligamentum latum. Otot dinding tuba terdiri atas (dari luar ke dalam) otot longitudinal dan otot sirkuler. Lebih ke dalam lagi didapatkan selaput yang berlipat-lipat dengan sel-sel yang bersekresi dan bersilia yang khas, berfungsi untuk menyalurkan telur atau hasil konsepsi ke arah kavum uteri dengan arus yang ditimbulkan oleh getaran silia tersebut (4).


2.1.4 Ovarium

Ovarium kurang lebih sebesar ibu jari tangan dengan ukuran panjang sekitar 4 cm, lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm. Setiap bulan 1-2 folikel akan keluar yang dalam perkembangannya akan menjadi folikel de Graaf (4).


Gambar 2. 1 Anatomi alat reproduksi wanita (7).

2.2 Kehamilan Ektopik Terganggu

2.2.1 Definisi

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/ melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim (2,4,8). Sedangkan yang disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba (9).

2.2.2 Etiologi

Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Trijatmo Rachimhadhi dalam bukunya menjelaskan beberapa faktor yang berhubungan dengan penyebab kehamilan ektopik terganggu (2):

1. Faktor mekanis

Hal-hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan ovum yang dibuahi ke dalam kavum uteri, antara lain:

Salpingitis, terutama endosalpingitis yang menyebabkan aglutinasi silia lipatan mukosa tuba dengan penyempitan saluran atau pembentukan kantong-kantong buntu. Berkurangnya silia mukosa tuba sebagai akibat infeksi juga menyebabkan implantasi hasil zigot pada tuba falopii.

Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus/ infeksi pasca nifas, apendisitis, atau endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba atau penyempitan lumen

Kelainan pertumbuhan tuba, terutama divertikulum, ostium asesorius dan hipoplasi. Namun ini jarang terjadi

Bekas operasi tuba memperbaiki fungsi tuba atau terkadang kegagalan usaha untuk memperbaiki patensi tuba pada sterilisasi

Tumor yang merubah bentuk tuba seperti mioma uteri dan adanya benjolan pada adneksia

Penggunaan IUD

2. Faktor Fungsional

Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan duktus mulleri yang abnormal

Refluks menstruasi

Berubahnya motilitas tuba karena perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron

3. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang dibuahi.

4. Hal lain seperti; riwayat KET dan riwayat abortus induksi sebelumnya (2).

2.2.3 Klasifikasi

Sarwono Prawirohardjo dan Cuningham masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan kehamilan ektopik berdasarkan lokasinya antara lain (1,5):

1. Tuba Fallopii

a) Pars-interstisialis

b) Isthmus

c) Ampula

d) Infundibulum

e) Fimbrae

2. Uterus

a) Kanalis servikalis

b) Divertikulum

c) Kornu

d) Tanduk rudimenter

3. Ovarium

4. Intraligamenter

5. Abdominal

a) Primer

b) Sekunder

6. Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus (1,5).

Gambar 2. 2 Gambar lokasi kehamilan ektopik (10).

2.2.4 Epidemiologi

Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Lebih dari 60% kehamilan ektopik terjadi pada wanita 20-30 tahun dengan sosio-ekonomi rendah dan tinggal didaerah dengan prevalensi gonore dan prevalensi tuberkulosa yang tinggi. Pemakaian antibiotik pada penyakit radang panggul dapat meningkatkan kejadian kehamilan ektopik terganggu. Diantara kehamilan-kehamilan ektopik terganggu, yang banyak terjadi ialah pada daerah tuba (90%) (4).

Antibiotik dapat mempertahankan terbukanya tuba yang mengalami infeksi tetapi perlengketan menyebabkan pergerakan silia dan peristaltik tuba terganggu sehingga menghambat perjalanan ovum yang dibuahi dari ampula ke rahim dan berimplantasi ke tuba (4).

Penelitian Cunningham Di Amerika Serikat melaporkan bahwa kehamilan etopik terganggu lebih sering dijumpai pada wanita kulit hitam dari pada kulit putih karena prevalensi penyakit peradangan pelvis lebih banyak pada wanita kulit hitam. Frekuensi kehamilan ektopik terganggu yang berulang adalah 1-14,6% (5).

Di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia, pada RSUP Pringadi Medan (1979-1981) frekuensi 1:139, dan di RSUPN Cipto Magunkusumo Jakarta (1971-1975) frekuensi 1:24 (6), sedangkan di RSUP. DR. M. Djamil Padang (1997-1999) dilaporkan frekuensi 1:110 (11).

Kontrasepsi IUD juga dapat mempengaruhi frekuensi kehamilan ektopik terhadap persalinan di rumah sakit. Banyak wanita dalam masa reproduksi tanpa faktor predisposisi untuk kehamilan ektopik membatasi kelahiran dengan kontrasepsi, sehingga jumlah persalinan turun, dan frekuensi kehamilan ektopik terhadap kelahiran secara relatif meningkat. Selain itu IUD dapat mencegah secara efektif kehamilan intrauterin, tetapi tidak mempengaruhi kejadian kehamilan ektopik (4).

Menurut penelitian Abdullah dan kawan-kawan (1995-1997) ternyata paritas 0-3 ditemukan peningkatan kehamilan ektopik terganggu. Pada paritas >3-6 terdapat penurunan kasus kehamilan ektopik terganggu (12).
Cunningham dalam bukunya menyatakan bahwa lokasi kehamilan ektopik terganggu paling banyak terjadi di tuba (90-95%), khususnya di ampula tuba (78%) dan isthmus (2%). Pada daerah fimbrae (5%), intersisial (2-3%), abdominal (1-2%), ovarium (1%), servikal (0,5%) (5).


2.2.5 Patogenesis

Proses implantasi ovum di tuba pada dasarnya sama dengan yang terjadi di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumnar atau interkolumnar. Pada nidasi secara kolumnar telur bernidasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan direabsorbsi. Pada nidasi interkolumnar, telur bernidasi antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup maka ovum dipisahkan dari lumen oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba malahan kadang-kadang sulit dilihat vili khorealis menembus endosalping dan masuk kedalam otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya tergantung dari beberapa faktor, yaitu; tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas (4).

Di bawah pengaruh hormon esterogen dan progesteron dari korpus luteum graviditi dan tropoblas, uterus menjadi besar dan lembek, endometrium dapat berubah menjadi desidua (4). Beberapa perubahan pada endometrium yaitu; sel epitel membesar, nukleus hipertrofi, hiperkromasi, lobuler, dan bentuknya ireguler. Polaritas menghilang dan nukleus yang abnormal mempunyai tendensi menempati sel luminal. Sitoplasma mengalami vakuolisasi seperti buih dan dapat juga terkadang ditemui mitosis. Perubahan endometrium secara keseluruhan disebut sebagai reaksi Arias-Stella (2).

Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi kemudian dikeluarkan secara utuh atau berkeping-keping. Perdarahan yang dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus disebabkan pelepasan desidua yang degeneratif (1).

Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu. Karena tuba bukan tempat pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi adalah (1,4,13):

1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi

Pada implantasi secara kolumna, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi yang kurang dan dengan mudah diresobsi total.

2. Abortus ke dalam lumen tuba

Perdarahan yang terjadi karena terbukanya dinding pembuluh darah oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Segera setelah perdarahan, hubungan antara plasenta serta membran terhadap dinding tuba terpisah bila pemisahan sempurna, seluruh hasil konsepsi dikeluarkan melalui ujung fimbrae tuba ke dalam kavum peritonium. Dalam keadaan tersebut perdarahan berhenti dan gejala-gejala menghilang.

3. Ruptur dinding tuba

Penyebab utama dari ruptur tuba adalah penembusan dinding vili korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur tuba sering terjadi bila ovum yang dibuahi berimplantasi pada isthmus dan biasanya terjadi pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur yang terjadi pada pars-intersisialis pada kehamilan lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau yang disebabkan trauma ringan seperti pada koitus dan pemeriksaan vagina (1,4,13).

2.2.6 Gambaran Klinik

Gambaran klinik dari kehamilan ektopik terganggu tergantung pada lokasinya (4). Tanda dan gejalanya sangat bervariasi tergantung pada ruptur atau tidaknya kehamilan tersebut (14). Adapun gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium antara lain (5):

a. Keluhan gastrointestinal

Keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien kehamilan ektopik terganggu adalah nyeri pelvis. Dorfman menekankan pentingnya keluhan gastrointestinal dan vertigo atau rasa pening. Semua keluhan tersebut mempunyai keragaman dalam hal insiden terjadinya akibat kecepatan dan taraf perdarahannya di samping keterlambatan diagnosis.

b. Nyeri tekan abdomen dan pelvis

Nyeri tekan yang timbul pada palpasi abdomen dan pemeriksaan, khususnya dengan menggerakkan servik, dijumpai pada lebih dari tiga per empat kasus kehamilan ektopik sudah atau sedang mengalami ruptur, tetapi kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur terjadinya.

c. Amenore

Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih. Salah satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan pervaginam yang lazim pada kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal, dengan demikian memberikan tanggal haid terakhir yang keliru.

d. Spotting atau perdarahan vaginal

Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak ditemukan, namun bila dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Perdarahan tersebut biasanya sedikit-sedikit, bewarna cokelat gelap dan dapat terputus-putus atau terus-menerus.

e. Perubahan Uterus

Uterus pada kehamilan etopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh masa ektopik tersebut. Pada kehamilan ligamentum latum atau ligamentum latum terisi darah, uterus dapat mengalami pergeseran hebat. Uterine cast akan dieksresikan oleh sebagian kecil pasien, mungkin 5% atau 10% pasien. Eksresi uterine cast ini dapat disertai oleh gejala kram yang serupa dengan peristiwa ekspulsi spontan jaringan abortus dari kavum uteri.

f. Tekanan darah dan denyut nadi

Reaksi awal pada perdarahan sedang tidak menunjukkan perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah, atau reaksinya kadang-kadang sama seperti yang terlihat pada tindakan flebotomi untuk menjadi donor darah yaitu kenaikan ringan tekanan darah atau respon vasovagal disertai bradikardi serta hipotensi.

g. Hipovolemi

Penurunan nyata tekanan darah dan kenaikan denyut nadi dalam posisi duduk merupakan tanda yang paling sering menunjukkan adanya penurunan volume darah yang cukup banyak. Semua perubahan tersebut mungkin baru terjadi setelah timbul hipovolemi yang serius.

h. Suhu tubuh

Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh dapat tetap normal atau bahkan menurun. Suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai dalam keadaan tanpa adanya infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran yang penting untuk membedakan antara kehamilan tuba yang mengalami ruptura dengan salpingitis akut, dimana pada keadaan ini suhu tubuh umumnya diatas 38oC.

i. Masa pelvis

Masa pelvis dapat teraba pada ± 20% pasien. Masa tersebut mempunyai ukuran, konsistensi serta posisi yang bervariasi. Biasanya masa ini berukuran 5-15 cm, sering teraba lunak dan elastis. Akan tetapi dengan terjadinya infiltrasi dinding tuba yang luas oleh darah masa tersebut dapat teraba keras. Hampir selalu masa pelvis ditemukan di sebelah posterior atau lateral uterus. Keluhan nyeri dan nyeri tekan kerap kali mendahului terabanya masa pelvis dalam tindakan palpasi.

j. Hematokel pelvik

Pada kehamilan tuba, kerusakan dinding tuba yang terjadi bertahap akan diukuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke dalam lumen tuba, kavum peritonium atau keduanya. Gejala perdarahan aktif tidak terdapat dan bahkan keluhan yang ringan dapat mereda, namun darah yang terus merembes akan berkumpul dalam panggul, kurang lebih terbungkus dengan adanya perlekatan dan akhirnya membentuk hematokel pelvis (5).

2.2.7 Diagnosis

Gejala-gejala kehamilan ektopik terganggu beraneka ragam, sehingga pembuatan diagnosis kadang-kadang menimbulkan kesulitan, khususnya pada kasus-kasus kehamilan ektopik yang belum mengalami atau ruptur pada dinding tuba sulit untuk dibuat diagnosis (1).

Berikut ini merupakan jenis pemeriksaan untuk membantu diagnosis kehamilan ektopik (1,4,8,15):

1. HCG-β

Pengukuran subunit beta dari HCG-β (Human Chorionic Gonadotropin-Beta) merupakan tes laboratorium terpenting dalam diagnosis. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara kehamilan intrauterin dengan kehamilan ektopik.

2. Kuldosintesis

Tindakan kuldosintesis atau punksi Douglas. Adanya darah yang diisap berwarna hitam (darah tua) biar pun sedikit, membuktikan adanya darah di kavum Douglasi.

3. Dilatasi dan Kuretase

Biasanya kuretase dilakukan apabila sesudah amenore terjadi perdarahan yang cukup lama tanpa menemukan kelainan yang nyata disamping uterus.

4. Laparaskopi

Laparaskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnosis terakhir apabila hasil-hasil penilaian prosedur diagnostik lain untuk kehamilan ektopik terganggu meragukan. Namun beberapa dekade terakhir alat ini juga dipakai untuk terapi.

5. Ultrasonografi

Keunggulan cara pemerikssan ini terhadap laparoskopi ialah tidak invasif, artinya tidak perlu memasukkan rongga dalam rongga perut. Dapat dinilai kavum uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium, adanya massa di kanan kiri uterus dan apakah kavum Douglas berisi cairan.

Gambar 2.3 ULtrasonografi Pada KET

6. Tes Oksitosin

Pemberian oksitosin dalam dosis kecil intravena dapat membuktikan adanya kehamilan ektopik lanjut. Dengan pemeriksaan bimanual, di luar kantong janin dapat diraba suatu tumor.

7. Foto Rontgen

Tampak kerangka janin lebih tinggi letaknya dan berada dalam letak paksa. Pada foto lateral tampak bagian-bagian janin menutupi vertebra Ibu.

8. Histerosalpingografi

Memberikan gambaran kavum uteri kosong dan lebih besar dari biasa, dengan janin diluar uterus. Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis kehamilan ektopik terganngu sudah dipastikan dengan USG (Ultra Sono Graphy) dan MRI (Magnetic Resonance Imagine) (1,4,8,15).

Trias klasik yang sering ditemukan adalah nyeri abdomen, perdarahan vagina abnormal, dan amenore (4).


2.2.8 Diagnosis Diferensial

Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis diferensial adalah (4):

1. Infeksi pelvis

Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu haid dan jarang setelah mengenai amenore. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan yang dapat diraba pada pemeriksaaan vaginal pada umumnya bilateral. Pada infeksi pelvik perbedaan suhu rektal dan ketiak melebihi 0,5 0C, selain itu leukositosis lebih tinggi daripada kehamilan ektopik terganggu dan tes kehamilan menunjukkan hasil negatif.

2. Abortus iminens/ Abortus inkomplit

Dibandingkan dengan kehamilan ektopik terganggu perdarahan lebih merah sesudah amenore, rasa nyeri yang sering berlokasi di daerah median dan adanya perasaan subjektif penderita yang merasakan rasa tidak enak di perut lebih menunjukkan ke arah abortus imminens atau permulaan abortus incipiens. Pada abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus, dan gerakan servik uteri tidak menimbulkan rasa nyeri.

3. Tumor/ Kista ovarium

Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan perdarahan pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih bulat dibanding kehamilan ektopik terganggu.

4. Appendisitis

Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan servik uteri seperti yang ditemukan pada kehamilan ektopik terganggu. Nyeri perut bagian bawah pada apendisitis terletak pada titik McBurney (4).

2.2.9 Terapi

Pada kehamilan ektopik terganggu, walaupun tidak selalu ada bahaya terhadap jiwa penderita, dapat dilakukan terapi konservatif, tetapi sebaiknya tetap dilakukan tindakan operasi. Kekurangan dari terapi konservatif (non-operatif) yaitu walaupun darah berkumpul di rongga abdomen lambat laun dapat diresorbsi atau untuk sebagian dapat dikeluarkan dengan kolpotomi (pengeluaran melalui vagina dari darah di kavum Douglas), sisa darah dapat menyebabkan perlekatan-perlekatan dengan bahaya ileus. Operasi terdiri dari salpingektomi ataupun salpingo-ooforektomi. Jika penderita sudah memiliki anak cukup dan terdapat kelainan pada tuba tersebut dapat dipertimbangkan untuk mengangkat tuba. Namun jika penderita belum mempunyai anak, maka kelainan tuba dapat dipertimbangkan untuk dikoreksi supaya tuba berfungsi (4).

Tindakan laparatomi dapat dilakukan pada ruptur tuba, kehamilan dalam divertikulum uterus, kehamilan abdominal dan kehamilan tanduk rudimenter. Perdarahan sedini mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari adneksia yang menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dari rongga abdomen sebanyak mungkin dikeluarkan. Serta memberikan transfusi darah (4).

Untuk kehamilan ektopik terganggu dini yang berlokasi di ovarium bila dimungkinkan dirawat, namun apabila tidak menunjukkan perbaikan maka dapat dilakukan tindakan sistektomi ataupun oovorektomi (5). Sedangkan kehamilan ektopik terganggu berlokasi di servik uteri yang sering menngakibatkan perdarahan dapat dilakukan histerektomi, tetapi pada nulipara yang ingin sekali mempertahankan fertilitasnya diusahakan melakukan terapi konservatif (4).

2.2.10 Prognosis

Angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu turun sejalan dengan ditegakkannya diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Kehamilan ektopik terganggu yang berlokasi di tuba pada umumnya bersifat bilateral. Sebagian ibu menjadi steril (tidak dapat mempunyai keturunan) setelah mengalami keadaan tersebut diatas, namun dapat juga mengalami kehamilan ektopik terganggu lagi pada tuba yang lain (4).

Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu, mempunyai resiko 10% untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang. Ibu yang sudah mengalami kehamilan ektopik terganggu sebanyak dua kali terdapat kemungkinan 50% mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang (16).

Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas wanita. Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60% kemungkinan wanita steril. Dari sebanyak itu yang menjadi hamil kurang lebih 10% mengalami kehamilan ektopik berulang (1).


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif, yaitu pengumpulan data dengan melihat kebelakang (backward looking). Dengan melihat dan mencatat kembali data rekam medik pasien yang pernah dirawat di bagian obstetri dan ginekologi RSUD Arifin Achmad periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 sampai dengan bulan Januari 2007. Penelitian dilaksanakan di bagian Rekam Medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Semua penderita kasus ginekologi yang dirawat di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.

3.3.2 Sampel

Semua penderita kehamilan ektopik terganggu di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2002-31 Desember 2006.

3.4 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

Semua penderita yang dirawat di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru yang telah didiagnosis post-operatif sebagai penderita kehamilan ektopik terganggu oleh dokter ahli obstetri dan ginekologi dalam periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 dan memiliki catatan rekam medik yang di dalamnya mencakup variabel penelitian yaitu:

1. Jumlah kasus kehamilan ektopik terganggu

2. Umur Ibu

3. Paritas Ibu

4. Lokasi terjadinya kehamilan ektopik terganggu

5. Luaran Ibu saat keluar dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru

3.4.2 Kriteria Eksklusi

Semua penderita yang tidak memiliki catatan rekam medik yang lengkap.

3.5 Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan melihat kembali semua catatan medik tentang kasus kehamilan ektopik terganggu yang tercatat di bagian Rekam Medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.

3.6 Pengolahan dan Penyajian Data

Data dikumpulkan dan diolah secara manual, kemudian disajikan dalam bentuk diagram dan tabel distribusi frekuensi.

3.7 Definisi Operasional

  1. Kehamilan etopik terganggu adalah semua kasus penyakit kandungan yang telah didiagnosis post-operatif oleh dokter ahli obstetri dan ginekologi sebagai kehamilan ektopik terganggu.
  2. Jumlah kasus kehamilan ektopik terganggu adalah jumlah total kasus kehamilan ektopik yang tercatat di bagian Rekam Medik di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005.
  3. Umur Ibu adalah usia (dalam tahun) yang tercatat di bagian Rekam Medik saat datang ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, dikelompokkan menjadi:

a. 15-24

b. 25-34

c. 35-44

  1. Paritas adalah frekuensi proses persalinan yang telah dilakukan ibu penderita kehamilan ektopik terganggu yang tercatat di bagian Rekam Medik saat datang ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005, dikelompokkan menjadi:

a. 0

b. 1

c. 2

d. 3

e. 4

f. 5

g. 6

  1. Lokasi kehamilan ektopik terganggu adalah tempat implantasi hasil konsepsi yang diketahui setelah dilakukan tindakan operasi, ikelompokkan menjadi:

a. Ampula tuba

b. Intersisial tuba

c. Infundibulum tuba

d. Ismus tuba

e. Kornu uterus

f. Salfing

g. Ovarium

h. Adneksa

  1. Keadaan ibu setelah penatalaksanaan dikelompokkan menjadi :

a) Sembuh

b) Meninggal



BAB IV

HASIL PENELITIAN

Setelah dilakukan penelitian di bagian Rekam Medik dapat di ketahui angka kejadian kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1 Distribusi angka kejadian kehamilan ektopik di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005

Tahun

Frekuensi Persalinan

Frekuensi

Kehamilan Ektopik

Persentase

(%)

2003

2399

47

1,95

2004

2502

44

1,75

2005

2597

42

1,61

Jumlah

7498

133

1,77

Dari tabel 4.1 diketahui bahwa angka kejadian kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad pada tahun 2003 yaitu sebanyak 47 kasus kehamilan ektopik terganggu (1,95%) dari 2399 persalinan, pada tahun 2004 yaitu sebanyak 44 kasus kehamilan ektopik terganggu (1,75%) dari 2502 persalinan, dan pada tahun 2005 sebanyak 42 kasus kehamilan ektopik terganggu (1,61%) dari 2597 persalinan. Jadi terdapat 133 kasus kehamilan ektopik terganggu (1,77%) dari 7498 persalinan selama 3 tahun.


Berdasarkan umur dari penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 diperlihatkan pada tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Distribusi umur penderita kehamilan ektopik di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005

Umur

(Tahun)

Frekuensi

Kehamilan Ektopik

Persentase

(%)

<>

0

0,00

20-24

25

18,80

25-29

29

21,80

30-34

54

40,60

≥ 35

25

18,80

Jumlah

133

100,00

Dari tabel 4.2 terlihat bahwa terdapat variasi umur penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005. Pada umur 20-24 tahun terdapat 25 orang (18,79%), pada umur 25-29 tahun terdapat 29 orang (21.80%) dan umur lebih atau sama dengan 35 tahun sebanyak 25 orang (18,79%). Penderita kehamilan ektopik terganggu yang terbanyak terdapat pada umur 30-34 tahun, yaitu sebanyak 54 orang (40,60%). Tidak ditemukan penderita kehamilan ektopik terganggu pada umur di bawah 20 tahun.


Berdasarkan paritas Ibu penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 diperlihatkan pada tabel 4.3 berikut :

Tabel 4.3 Distribusi paritas penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005

Paritas

Ibu

Frekuensi

Kehamilan Ektopik

Persentase

(%)

0

39

29,33

1

47

35,34

2

26

19,55

3

12

9,02

4

4

3,00

5

3

2,26

≥ 6

2

1,50

Jumlah

133

100,00

Dari tabel 4.3 terlihat bahwa kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 dengan paritas penderita 0 sebanyak 39 orang (29,33%), paritas penderita 1 sebanyak 47 orang (35,34%), paritas penderita 2 sebanyak 26 orang (19,55%), paritas penderita 3 sebanyak 12 orang (9.02%), paritas penderita 4 sebanyak 4 orang (3,00%), paritas penderita 5 sebanyak 3 orang (2,26%), dan paritas penderita yang lebih atau sama dengan 6 sebanyak 2 orang (1,50%).


Berdasarkan lokasi implantasi hasil konsepsi pada penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 dapat dilihat pada tabel berikut :


Tabel 4.4 Distribusi lokasi implantasi hasil konsepsi pada penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005

Lokasi

Jumlah Sampel

Persentase (%)

Ampula Tuba

110

82,70

Intersisial tuba

1

0,75

Infundibulum tuba

2

1,50

Ismus tuba

4

3,00

Kornu uterus

2

1,50

Salfing

7

5,26

Ovarium

5

3,76

Adneksa

2

1,50

Jumlah

133

100,00

Dari tabel 4. 4 di atas terlihat bahwa lokasi kehamilan ektopik terganggu pada daerah tuba sebanyak 98 (82,70%), intersisial tuba sebanyak 1 (0.75%), infundibulum tuba sebanyak 2 (1.50%), ismus tuba sebanyak 4 (3,00%), kornu uterus sebanyak 2 (1.50%), salfing sebanyak 7 (5,26%), ovarium sebanyak 5 (3,76%), dan pada adneksa sebanyak 2 (1,50%).

Berdasarkan keadaan ibu saat keluar dari rumah sakit pada penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 diperlihatkan pada tabel 4.5 berikut:

Tabel 4.5 Distribusi keadaan ibu saat keluar dari rumah sakit pada penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005

Keadaan Ibu

Sampel (n)

Persentase (%)

Sembuh

131

98,50

Meninggal

2

1,50

Jumlah

133

100,00

Dari tabel 4.5 diketahui bahwa 2 orang (1,50%) dari penderita kehamilan ektopik terganggu yang meninggal saat keluar dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 dan sebanyak 131 orang (98,50%) sembuh.



BAB V

PEMBAHASAN

Pada periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 didapatkan bahwa pada tahun 2003 terdapat 47 kasus (1,95%) kehamilan ektopik terganggu dari 2399 persalinan, tahun 2004 terdapat 44 kasus kehamilan ektopik terganggu (1,75%) dari 2502 persalinan, dan pada tahun 2005 terdapat 42 kehamilan ektopik terganggu (1,61%) dari 2597 persalinan. Jadi terdapat 133 kasus (1,77%) kehamilan ektopik terganggu dari 7498 persalinan selama 3 tahun.

Dari tabel 4.2 terlihat bahwa berdasarkan usia penderita ternyata frekuensi tertinggi didapatkan pada kelompok umur 30-34 tahun (40,60%), diikuti oleh kelornpok umur 25-29 tahun (21,80%), kelompok umur 20-24 tahun (18,79%), kelompok umur ≥ 35 tahun (18,79%), dan tidak dijumpai kasus kehamilan ektopik terganggu yang terjadi pada kelompok umur <>. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Trijatmo Racimhadhi di RSUP Cipto Mangunkusumo yang mengatakan bahwa wanita yang mengalami kehamilan ektopik terganggu berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun, dimana saat wanita berada pada tingkat kesuburan yang tinggi. (4).

Pada tabel 4.3 terlihat bahwa sebahagian besar kasus kehamilan ektopik terganggu terjadi pada ibu-ibu dengan paritas 1 (35,34%), diikuti oleh paritas 0 (29,33%), paritas 2 (19,55%), paritas 3 (9,02%), paritas 4 (3,00%), paritas 5 (2,26%), dan paritas ≥6 (1,50%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (1997) yang menyatakan bahwa frekuensi terjadinya kehamilan ektopik terganggu terbanyak pada ibu-ibu dengan paritas 0-3.

Pada tabel 4. 4 terlihat bahwa lokasi kehamilan ektopik terganggu terbanyak terdapat pada daerah ampula tuba (73,68%), diikuti dengan ampula tuba (9,02%), salfing (5,26), ovarium (3,76%), ismus tuba (3.00%), infundibulum tuba dan adneksa (1,50%), serta daerah intersisial tuba (0,75%). Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Fridsto (1999) yang menyatakan bahwa lokasi kehamilan ektopik terganggu terbanyak dijumpai pada daerah ampula tuba.

Dari data yang diperoleh dari bagian rekam medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dalam periode 1 januari 2003 – 31 Desernber 2005 yang diperlihatkan pada tabel 4.5 bahwa 1.5 % ibu dengan kehamilan ektopik terganggu meninggal dunia.

Disini terlihat bahwa pentingnya penatalaksanaan dan diagnosis yang dini dari kasus-kasus kehamilan ektopik tergangu untuk dapat mengurangi tingginya angka kematian Ibu pada penderita kehamilan ektopik terganggu.


BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan di bagian Rekam Medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, dapat disimpulkan:

1. Selama 3 tahun (1 Januari 2003-31 Desember 2005) ditemukan 133 kasus kehamilan ektopik terganggu dari 7498 persalinan sehingga didapatkan insiden kehamilan ektopik terganggu sebanyak 1.77%.

2. Frekuensi tertinggi penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad terdapat pada umur 30-34 tahun yaitu sebanyak 40.60% ditinjau dari umur penderita.

3. Frekuensi tertinggi penderita kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad terdapat pada ibu-ibu dengan paritas 1 sebanyak 35,34% ditinjau dari paritas penderita.

4. Lokasi kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad terbanyak adalah di pars ampularis sebanyak 73,68%.

5. Dari seluruh pasien penderita kehamilan ektopik terganggu ditemukan 1.50% meninggal dunia.

6.2 Saran

Mengingat kehamilan ektopik terganggu merupakan kasus darurat di bidang Ginekologi dan ancaman yang ditimbulkan terhadap penderita, penulis menyarankan:

1. Meningkatkan kualitas pendidikan, serta keterampilan tenaga-tenaga kesehatan agar dapat menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu lebih dini sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kematian ibu.

2. Pada setiap ibu hamil diberikan penjelasan tentang gejala-gejala yang timbul akibat kehamilan yang tidak normal sehingga dapat segera memeriksakan kehamilannya di Puskesmas atau rumah sakit terdekat.

3. lbu-ibu yang mempunyai faktor-faktor resiko untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu agar waspada dan selalu memeriksakan kehamilannya kepada tenaga ahli secara teratur.

4. Jika penderita sudah punya anak yang cukup sesuai dengan program KB yaitu 2 anak saja dan terdapat kelainan pada tuba, maka dapat dipertimbangkan untuk melakukan sterilisasi agar dapat mencegah berulangnya kehamilan ektopik terganggu.

5. Pencatatan status di RSUD Arifin Achmad diharapkan dapat lebih lengkap jelas dan teliti sehingga mempermudah untuk penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S, Hanifa W. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi. Dalam: Ilmu Kandungan, edisi II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2005; 250-8.

2. Rachimhadhi T. Kehamilan Ektopik. Dalam : Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi I. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2005; 198-10.

3. Robbins SL, Kumar V. Sistem Genitalia Wanita dan Payudara (kehamilan Ektopik). Dalam : Buku Ajar Patologi II. Edisi IV. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. 1997; 374-15

4. Wibowo B, Rachimhadhi T. Kehamilan Ektopik. Dalam : Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 362-85

5. Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF. Kehamilan Ektopik. Dalam: Obstetri William (William’s Obstetri). Edisi XVIII. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005; 599-26.

6. Jones HW. Ectopic Pregnancy. In: Novak’s Text Book of Gynecology. 3rd Edition. Balltimore, Hongkong, London, Sydney: William & Wilkins. 1997; 883-05.

7. UAB Health System [Online Database] 2006 September [2007 May 2] Available from URL: http://www.health.uab.edu/default.aspx?pid=65626

8. Moechtar R. Kelainan Letak Kehamilan (Kehamialan Ektopik). Dalam: Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC. 1998; 226-37

9. Polan ML, Wheeler JM. Kehamilan Ektopik (Diagnosis dan Terapi). Dalam: Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Infertilitas. Edisi I. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 1997; 102-5

10. Farlex. The Free Dictionary. [Online Database] 2007 January [2007 May 23] Available from URL: http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/ interstitial+pregnancy

11. Fridsto Z. Kehamilan Ektopik di RSUP. DR. M. Djamil Padang selama 3 Tahun (1 januari 1997-31 Desember 1999). Skripsi. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, 2000.

12. Abdullah F, Bakar E, Salin J. Kehamilan Ektopik Terganggu di RSUP Dr. M. Djamil padang selama 3 tahun (1 Januari 1995-31 Desember 1997). Universitas Andalas, Padang, 1997

13. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. Kehamilan Ektopik. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius. 2001; 267-70

14. Saifiddin AB, Wiknjosastro H, Kehamilan Ektopik Terganngu. Dalam: Buku Panduan praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi I. Editor: Affandi B, Waspodo B. Jakarta: yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2002; 15-6

15. E Medicine Health [Online Database] 2005 October [2007 April 28] Available from URL: http:/www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=58753&page=1#Ectopic%20Pregnancy%20Overview

16. Schwart SI, Shires TS. Kehamilan Ektopik. Dalam: Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi VI. Editor: Spencer FC. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000; 599-06

17. MayoClinic.com [Online Database] 2006 Desember [2007 May 7] Available from URL: http://www.mayoclinic.com/health/ectopicpregnancy/DS00622 /DSECTION=4

Juli 16, 2008 Posted by | KTI, Kuliah | Tinggalkan komentar

risiko rokok terhadap prematur

RISIKO ASAP ROKOK DAN OBAT-OBATAN TERHADAP KELAHIRAN PREMATUR DI RUMAH SAKIT ST. FATIMAH MAKASSAR

Abstrak

Data dari WHO (2002) menunjukan bahwa angka yang sangat memprihatinkan terhadap kematian bayi yang di kenal dengan fenomena 2/3 yaitu : pertama fenomena 2/3 kematian bayi (0-1 tahuan) terjadi pada masa neonatal (bayi baru berumur 0-28 hari). Kedua adalah 2/3 kamatian masa neonatal dan terjadi pada hari pertama. Tujuan penelitan ini untuk menganalisis faktor anemia, emesis grafidarun, keterpaparan asap rokok, dan obat-obatan pada ibu hamil terhadap kejadian persalinan premature. Desain penelitian yang digunakan adalah case control study, dengan kasus adalah kelahiran prematur dan kontrolnya adalah kelahiran normal. Analisis yang digunakan dengan Odds ratio, untuk melihat besar risiko masing-masing faktor terhadap kelahiran prematur.Hasil analisis menunjukkan, anemia ibu hamil bersiko 2,3 kali untuk melahirkan prematur, emesis 2,6 kali, paparan asap rokok 3,7 kali, paparan obat-obatan 3,8 kali masing – masing untuk melahirkan prematur. Berdasarkan hasil tersebut disarankan kepada ibu hamil untuk senantiasa mengontrol kadar hb, dengan mempertahankan antenatal care, mengurangi paparan asap rokok, serta mengendalikan konsumsi obat-obatan yang tidak dianjurkan.

Kata kunci : prematur, asap rokok, obat-obatan. AbstractData from WHO (2002) show that concerned towards baby death at know with phenomenon 2/3 that is: first phenomenon 2/3 baby death (0-1 years) happen in time neonatal (aged new baby 0-28 day). second 2/3 death time neonatal and happen on first. Aim this research is to analyze anaemia factor, emesis grafidarun, eksposure cigarette smoke, and medicines in pregnant mother towards insident premature. Research design that used case control study, with case birth premature and the control birth normal. analysis that used with odds ratio, to see big risk each factor towards birth premature. analysis result shows, pregnant mother anaemia have OR 2,3 times to gives premature, emesis OR. 2,6, cigarette smoke OR 3,7, medicines explanation 3,8 times masing – masing to give birth to premature. based on the result suggested to pregnant mother to always controlss degree hb, with defend antenatal care, decrease cigarette smoke explanation, with restrain medicines consumption is not suggested. Key word : premature, tobacco smoke, drugs. I. PENDAHULUANPersalinan prematur adalah salah satu persalinan yang tidak normal dari segi umur kehamilan, yaitu persalinan yang terjadi pada umur kandungan kurang dari normal yaitu kurang dari 37 minggu atau 259 hari. Pada umur kehamilan ini perkembangan organ – organ, fungsi – fungsi organ dan sistem – sistem belum sempurna, terutama sistem homoestatis. Kondisi ini menyebabkan bayi prematur memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kematian atau menjadi sakit dalam masa neonatal. Data dari WHO (2002) menunjukan bahwa angka yang sangat memprihatinkan terhadap kematian bayi yang di kenal dengan fenomena 2/3 yaitu : pertama fenomena 2/3 kematian bayi (0-1 tahuan) terjadi pada masa neonatal (bayi baru berumur 0-28 hari). Kedua adalah 2/3 kamatian masa neonatal dan terjadi pada hari pertama.Berkaitan dengan kematian bayi di Indonesia, bayi 0-28 hari (neonatal) masih terjadi kematian sebanyak 100.454 bayi ini berarti 273 neonatal meninggal setiap harinya yang berarti pula bahwa setiap satu juta bayi neonatal meninggal dini. Kemungkinan akan terjadi kematian di masa neonatal 20 – 30 kali lebih besar pada bayi yang dilahirkan BBLR dibanding dengan bayi berat normal (1)Dewasa ini Indonesia memiliki angka kejadian prematur sekitar 19% dan merupakan penyebab utama kematian perinatal. Kelahiran prematur juga bertanggung jawab langsung terhadap 75 – 79 kematian neonatal yang tidak disebabkan oleh kongenital letal. Pada tahun 1998, penelitian menunjukan bahwa prematuritas menyebabkan kematian bayi sebesar 61,1% pada kehamilan ganda (2). Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 71/1000 kelahiran hidup. Tahun 1995 turun menjadi 51/1000 kelahiran hidup. Dan tahun 1997 menjadi 41,44/1000 kelahiran hidup.Sulawesi Selatan memiliki Angaka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kalahiran hidup pada sensus 1986 sebasar 70/1000 kelahiran hidup. Pada tahun 1995 sebesar 58,2/1000 kelahiran hidup. Tahun 1996 sebesar 32,68/1000 kelahiran hidup. Tahun 1997 sebesar 63,/1000 kelahiran hidup. Tahun 1998 sebesar 57,6/1000 kelahiran hidup. Tahun 1999 sebesar 26,51/1000 kelahiran hidup. Dari 32,68 AKB tahun 1996, sebesar 9,66 % kematian bayi karena prematuritas. Tahun 1997 dari 63,0 AKB, sebesar 11,14 % kematian bayi karena prematuritas, (3).Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar terjadi peningkatan angka kematian bayi. Pada tahun 2002 tercatat AKB sebesar 13,03/1000 kelahiran hidup dan sebesar 20,51 % disebabkan karena prematuritas. Tahun 2003 AKB sebesar 18,01/1000 kelahiran hidup dan 23,64% kematian karena prematuritas. Pada tahun 2004 AKB sebesar 27,62/1000 kelahiran hidup. Dan disebabkan karena prematur adalah 38,57%.

Pengaruh langsung rokok adalah akibat nikotin yang terkandung di dalamnya. Nikotin ini menimbulkan kontraksi pada pembuluh darah, akibatnya aliran darah ke janin melalui tali pusar janin akan berkurang sehingga mengurangi kemampuan distribusi zat makanan yang diperlukan oleh janin. Selain itu akibat karbondioksida yang terkandung dalam asap rokok akan mengikat hemoglobim dalam darah. Akibatnya akan mengurangi kerja haemoglobin yang mestinya mengikat oksigen untuk disalurkan ke seluruh tubuh. Sehingga rokok akan mengganggu distribusi zat makanan serta oksigen ke janin. Ini meningkatkan risiko kelahiran bayi dengan berat badan kurang, yaitu dibawah 2500 gram. Perlu diingat bahwa setiap hisapan rokok akan mengakibatkan penderitaan pada calon bayi. Berdasarkan penelitian, 1 dari 3 wanita yang merokok lebih dari 20 batang sehari melahirkan bayi dengan berat badan kurang. Juga risiko kelahiran prematur meningkat, yaitu rata-rata dua kali lipat dari wanita bukan perokok. Lebih dari itu risiko keguguran pada usia kehamilan antara minggu ke 28 sampai 1 minggu sebelum persalinan empat kali lebih tinggi dari yang bukan perokok. Belum lagi peningkatan risiko terjadi pendarahan dan sebagainya (4). 
Keterpaparan obat merupakan salah satu faktor risiko persalinan prematur yang harus diperhatikan juga. Tragedi pada tahun 60-an memberi hikmah tak ternilai pada masyarakat tentang bahaya obat – obatan yang layak diminum oleh ibu hamil. Didapatkan 2-3% kalainan bayi di Amerika karena minum obat. Diketahui jenis obat yang diminum oleh ibu hamil berpengaruh buruk terhadap persalinan. Meski demikian, sekitar 30-60 % wanita masih memerlukan obat karena berbagai kondisi yang dialaminya. Misalnya alasan sakit. (5).
Kelahiran prematur juga dapat disebabkan karena adanya emesis gravidarum. Dimana emesis merupakan salah satu tanda adanya stres pada ibu hamil sehingga dapat mengeluarkan hormon kostiroid yang berfungsi mengikat kandungan sehingga mempercepat kelahiran. Kelahiran prematur terjadi sebesar 21% dan 15 % pada tiga bulan berturut – turut pada kisah yang dilaporkan oleh (6).

Tujuan Penelitian.Untuk menganalisis faktor anemia, emesis grafidarun, keterpaparan asap rokok, dan obat-obatan pada ibu hamil terhadap kejadian persalinan premature. II. Metode Penelitian A. Jenis PenelitianJenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan pendekatan case control study untuk mengetahui faktor risiko kejadian persalinan prematur di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar tahun 2006.B. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu yang melahirkan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar tahun 2006 mulai Januari 2006 sampai Februari 2006.

2. Sampel

a. Sampel Kasus

Semua ibu yang mengalami persalinan prematur di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar tahun 2006 mulai Januari 2006 sampai Februari 2006, yaitu sebesar 33 orang.

b. Sampel Kontrol

Semua ibu yang tidak mengalami persalinan prematur di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar tahun 2006 selama bulan januari 2006 sampai Februari 2006. Didapatkan kontrol sebesar 99 kasus ( 3 kali jumlah kasus )dan diambil dengan matching paritas dan umur. Dimana frekuensi matching umur yaitu umur reproduksi sehat (20-30 tahun) dan umur reproduksi tidak sehat (< 20 dan >30 tahun). Dan Frekuensi matching paritas yaitu paritas aman (2-3) dan paritas tidak aman ( 1 dan >3), (7)

3. Cara pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara incidental sampling pada ibu – ibu yang melahirkan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar tahun 2006, selama penelitian berlangsung. Sampel kasus diambil langsung seluruh ibu – ibu yang melahirkan prematur, yaitu sebesar 33 orang, sedangkan sampel kontrol dilambil secara simple random sampling, pada ibu – ibu yang melahirkan normal di Rumah Sakit tersebut, yaitu sebesar 99 orang. Pemilihan sampel dilakukan berpasangan (matching) yaitu sampel yang dijadikan kasus dan kontrol dipilih dalam bentuk berpasangan, dengan kata lain untuk setiap kasus dipilih kontrol berdasarkan variabel matching dalam hal ini adalah umur ibu dan paritas.

Teknik pengambilan sampel sebagai berikut:a) Sampal kasus yang berjumlah 33 orang terlebih dahulu dilakukan pengelompokkan umur yaitu kelompok pertama umur produksi sehat (20 -30 tahun), dan kelompok ke dua umur produksi tidak sehat ( < 20 dan > 30 tahun)b) Sampel kasus yang berjumlah 33 orang juga dikelompokkan berdasarkan paritas aman ( paritas 2-3) dan paritas tidak aman ( paritas 1 dan > 3 ).c) Berdasarkan matching paritas dan umur pada kasus, kemudian dipilih kontrol sebesar 99 orang dengan berdasarkan pengelompokkan variabel matching pada kasus tersebut dengan perbandingan jumlah kasus dan kontrol sebesar 1:3.C.Pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diambil dengan cara wawancara langsung dengan Responden yang sudah ditentukan dan menggunakan kuesioner.

D.Pengolahan dan penyajian data

Data yang diperoleh diolah dengan program SPSS versi 12,00. kemudian data tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan disertai penjelasan.

E. Analisis data

Analisis data dilakukan dengan pengujian hipotesis yaitu Hipotesis Nol (Ho). Uji statistik yang digunakan untuk membandingkan antara kasus dan kontrol terhadap faktor-faktor risiko (variabel independent) dengan menggunakan Odds Ratio (8).

III. HASIL PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar selama satu bulan terhitung mulai tanggal 31 Januari 2006 sampai 3 Maret 2006. Penelitian ini dilakukan dengan observasi, dimana peneliti bertemu dan melakukan wawancara langsung langsung dengan responden ( responden sama dengan sampel ). Dari hasil penelitian didapatkan jumlah populasi sebanyak 219 orang dan yang memenuhi syarat sebagai sampel sebesar 33 orang, kemudian dipilih jumlah kontrol sesuai variabel matching dengan perbandingan kasus dan kontrol sebesar 1:3, sehingga didapat sampel kontrol sebesar 99 orang. Jadi jumlah sampel keseluruhan sebesar 132 orang. Dari hasil pengolahan data kemudian disajikan dalam bentuk tabel disertai penjelasan sebagai berikut.

A. Analisis variabel yang diteliti1. Analisis faktor anemia dengan kejadian persalinan prematur. Tabel 1Faktor anemia dengan kejadian persalinan prematur

Di RSIA Siti Fatimah
Makassar

Tahun 2006

Anemia

Kelahiran prematur

Kelahiran normal

Jumlah

Ya

21

33,3

42

66,7

63

Tidak

12

17,4

57

82,6

69

Total

33

25

99

75

132

Sumber: Data primer

Berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) terhadap risiko anemia pada tingkat kepercayaan (CI) = 95% dengan nilai lower limit= 1,053 dan Upper Limit= 5,358 ( 1,053<OR<5,358 ), maka didapatkan OR sebesar 2,375. Oleh karena nilai Lower Limit dan Upper Limit tidak mencakup nilai satu, maka nilai 2,375 dianggap bermakna antara anemia pada ibu hamil dengan kejadian persalinan prematur. Dengan demikian ibu – ibu pada saat mengandung yang memiliki Hb darah dibawah 11 gram % atau yang menderita anemia mempunyai kemungkinan 2,375 kali lebih besar mengalami kejadian persalinan prematur bila dibandingkan dengan ibu – ibu yang pada saat mengandung memiliki Hb darah 11 gram % keatas atau yang tidak anenia.

2. Analisis faktor emesis gravidarum dengan kejadian persalinan prematurTabel 2Faktor emesis gravidarum dengan kejadian persalinan prematur

Di RSIA Siti Fatimah
Makassar

Tahun 2006

Emesis gravidarum

Kelahiran prematur

Kelahiran normal

Jumlah

Ya

22

33.8

43

66.2

65

Tidak

11

16.4

56

83.6

67

Total

33

25.0

99

75.0

132

Sumber: Data primer

Berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) terhadap risiko emesis gravidarum pada tingkat kepercayaan (CI) = 95% ( 1,141<OR<5,948 ), maka didapatkan OR sebesar 2,605. Oleh karena itu dianggap bermakna antara emesis gravidarum pada ibu hamil dengan kejadian persalinan prematur. Dengan demikian ibu – ibu yang mengalami emesis gravidarum atau muntah – muntah selama mengandung mempunyai kemungkinan 2,605 kali lebih besar menderita persalinan prematur bila dibandingkan dengan ibu – ibu yang pada saat mengandung tidak mengalami emesis gravidarum atau muntah – muntah.

3. Analisis faktor keterpaparan rokok dengan kejadian persalinan prematur Tabel 3Faktor keterpaparan rokok dengan kejadian persalinan prematur

Di RSIA Siti Fatimah
Makassar

Tahun 2006

Terpapar rokok

Kelahiran prematur

Kelahiran normal

Jumlah

Ya

17

43.6

22

56.4

39

Tidak

16

17.2

77

82.8

93

Total

33

25.0

99

75.0

132

Sumber: Data primer

Berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) terhadap risiko keterpaparan rokok pada tingkat kepercayaan (CI) = 95% dengan nilai Lower Limit = 1,620 dan Upper Limit= 8,537 ( 1,620<OR< 8,537 ), maka didapatkan OR sebesar 3,719. Oleh karena nilai Lower Limit dan Upper Limit tidak mencakup nilai satu, maka nilai 3,719 dianggap bermakna antara anemia pada ibu hamil dengan kejadian persalinan prematur. Dengan demikian ibu – ibu yang terpapar rokok baik ibu sendiri yang merokok maupun terpapar oleh orang lain selama mengandung memiliki kemungkinan 2,313 kali lebih besar mengalami persalinan prematur bila dibandingkan dengan ibu – ibu yang pada saat mengandung tidak terpapar rokok.

4. Faktor keterpaparan obat dengan kejadian persalinan prematurTabel 4Faktor keterpaparan obat dengan kejadian persalinan prematur

Di RSIA Siti Fatimah
Makassar

Tahun 2006

Terpapar obat

Kelahiran prematur

Kelahiran normal

Jumlah

Ya

6

30,0

14

70.0

20

Tidak

27

24,1

85

75,9

112

Total

33

25,0

99

75,0

132

Sumber: Data primer

Berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) terhadap risiko keterpaparan obat pada tingkat kepercayaan (CI) = 95% dengan nilai Lower Limit = 0,472 dan Upper Limit= 3,855 ( 0,472<OR<5,358 ), maka didapatkan OR sebesar 1,349. Oleh karena nilai Lower Limit dan Upper Limit mencakup nilai satu, maka nilai 1,472 dianggap tidak bermakna antara keterpaparan obat pada ibu hamil dengan kejadian persalinan prematur. Sehingga dapat dikatakan tidak ada hubungan antara keterpaparan rokok terhadap kejadian persalinan prematur, atau belum bisa di buktikan kalau ibu – ibu yang terpapar obat berpengaruh terhadap kejadian persalinan prematur.

B. PEMBAHASAN

1. Anemia pada ibu hamilAnemia pada ibu hamil merupakan kondisi dimana kadar haemoglobin dalam darah selama mengandung berada dibawah kadar Hb normal yaitu kurang dari 11 garam %. Hb merupakan zat yang berfungsi mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh termasuk ke tubuh janin yang dikandung oleh ibu. Sehingga jika terjadi anemia pada ibu hamil, maka proses pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh tersebut akan mengalami gangguan. Sementara oksigen adalah senyawa yang sangat di butuhkan dalam proses metabolisme tubuh, sehingga jika ibu hamil mengalami anemia selama mengandung, secara langsung mempengaruhi kondisi tubuh ibu dan menghambat perkembangan janin yang dikandungnya, sehingga menyebabkan kemungkinan terjadinya persalinan prematur.Penelitian ini mengelompokan sampel yang terkena anemia dengan melihat jumlah kadar Hb dalam darah. Ibu yang dikatakan menderita anemia apa bila dalam darahnya terdapat kadar Hb kurang dari 11 gram%. Dan tidak menderita anemia apa bila dalam darahnya mengandung kadar Hb 11 gram% atau lebih.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami anemia berpeluang mengalami persalinan prematur (33,3 %). Analisis satistik menunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami anemia selama hamil mempengaruhi persalinan prematur dengan nilai Odds Ratio 2,375 ( OR = 2,375), atau ibu hamil yang mengalami anemia selama mengandung berpeluang mengalami persalinan prematur 2,375 kali lebih besar dibanding dengan ibu hamil yang tidak anemia.Teori yang dikemukakan oleh De Meeyer bahwa anemia ibu hamil dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke jaringan sehingga akan mengganggu pertumbuhan janin. Sehingga akan memperkuat risiko terjadinya persalinan prematur dan berat badan bayi lahir rendah.Masalah prematur sangat berkaitan erat dengan berat badan lahir rendah. Dan bahkan seorang ahli yang bernama Gheentill mendefinisikan bahwa bayi prematur ialah bayi yang lahir denag berat badan kurang dari 2500 gram (9). Hasil penelitian Sakia Angreani (10) menunjukkan bahwa anemia ibu hamil sangat berpengaruh terhadap kejadian BBLR dengan nilai OR=2,33. dan hasil penelitian bahar (2003) menunjukkan bahwa ibu yang menderita anemia selama mengandung memiliki risisko 4,88 (OR = 4,8 8)untuk menderita BBLR. Peneliti mengasumsikan kalau hasil – hasil penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian ini. 2. Emesis gravidarumEmesis gravidarum merupakan kondisi muntah – muntah yang terjadi pada ibu hamil. Muntah dapat menyebabkan kekurangan cairan (dehidrasi), kehilangan alkali dalam jaringan tubuh (asidosis) karena kelaparan, alkalosis karena kehilangan asam hipokrik dan kekurangan kalium. Muntah berlebih mengakibatkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Penguraian lemak yang tidak sempurna menimbulkan asam aseton-asetik, asam hidroksi butirik dan aseton di dalam darah. Sedangkan dehidrasi membuat cairan ekstra seluler dan plasma berkurang. Natrium dan klorida dalam darah turun. Dan membuat hemo konsentrasi sehingga aliran darah ke jaringa turun. Sehingga kondisi ini dapat memperkuat terjadinya persalinan prematur. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa kejadian emesis merupakan salah satu tanda adanya stres pada ibu hamil. Penelitian ini mengelompokkan sampel yang dikatakan emesis adalah apa bila frekuensi emesis yang dialami oleh ibu paling sedikit tiga kali per pekannya.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami emesis berpeluang melahirka bayi prematur ( 33,8 % ). Analisis statistik menunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami emesis gravidarum mempengeruhi terjadinya persalinan prematur dengan nilai OR sebesar 2,605( OR = 2,605 ), atau ibu hamil yang mengalami emesis selama mengandung berpeluang mengalami persalinan prematur 2,605 kali lebih besar dibanding dengan ibu hamil yang tidak emesis.Berdasarkan hasil Analisis literatur bahwa emesis dapat menyebabkan terjadinya perslinan permatur. Dan hasil penelitian ini mendukung hasil analisis literatur tersebut. Hasil penelitian Makkaraus (11) yang melihat faktor risiko antara stress dengan BBLR, dimana kriteria stres yang diungkapkan adalah adanya emesis, hiperemesis, mual, muntah dan BBLR identik dengan prematur mendapatkan hasil hubungan yang signifikan dengan nilai OR sebesar 3,3 dan P= 0,000 < 0,005. Sehingga peneliti mengasumsikan kalau hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian tersebut.3. Keterpaparan rokok pada ibu hamil.Pengaruh Nikotin yang terkandung didalam rokok minimbulkan kontraksi pada pembuluh darah, akibatnya aliran darah ke tali pusar janin akan berkurang sehingga mengurangi kemampuan distribusi zat yang diperlukan oleh janin. Selain itu karbonmonoksida dari asap rokok akan mengikat Hb dalam darah yang menyababkan distribusi zat makanan dan oksigen yang disuplai ke janin menjadi terganggu, sehingga kondisi ini dapat berrisiko melahirkan bayi prematur. Dalam penelitian ini didapatkan ibu terpapar rokok dari keluarga yang satu tampat tinggal dengan ibu dan dari perokok yang satu tempat kerja dengan ibu. Sehingga disimpulkan bahwa 100% ibu yang terpapar rokok sebagai perokok pasif. Peneliti mengelomokkan ibu yang terpapar rokok dengan melihat jumlah minimal rokok yang terpapar pada ibu sebesar lebih dari lima batang per hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang terpapar rokok berpeluang melahirka bayi prematur ( 43,6 % ). Keterpaparan rokok pada ibu hamil dalam penelitian ini menunjukan bahwa pada analisis statistik didapatkan nilai OR sebasar 3,719 ( OR=3,719) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara ibu hamil yang terpapar rokok dengan kejadian persalinan prematur atau ibu hamil yang terpapar rokok selama hamil berpeluang 2,313 kali lebih besar dibanding dengan ibu hamil yang tidak terpapar rokok.Hasil penelitian makarraus yang menganalisis hubungan faktor risiko merokok dengan BBLR, dimana BBLR identik dengan bayi prematur mendapatkan hasil hubungan yang signifikan dengan nilai OR sebesar 2,2 dan P= 0,02 < 0,05. Sehingga peneliti mengasumsikan kalau hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian tersebut.4. Keterpaparan obat Hasil analisis terhadap berbagai literatur, ternyata konsumsi obat – obatan bagi wanita hamil dapat bersifat teratogenik, karena senyawa kimia yang dikandung di dalam obat dapat menimbulkan kelainan bawaan pada bayi (kongenital) termasuk malformasi bawaan dan kelainan fungsional mayor maupun minor. Sehingga kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya persalinan prematur.Penelitaian ini mengelompokkan sampel yang terpapar obat dengan melihat jenis obat yang dikonsumsi oleh ibu. Jenis obat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah obat asma, obat anti biotik, obat analgesik, obat malaria, obat hipertensi, obat batuk, obat flu, dan jenis obat lain yang terkait dengan penyakit tertentu. Jenis vitamin dan mineral tidak dikatakan obat dalam penelitian ini.Pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara variabel dependen dengan independen atau tidak ada hubungan antara keterpaparan obat dengan kejadian persalinan prematur. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai Odds Ratio sebesar 1,349 (OR=1,349). Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor risiko keterpaparan obat dalam penelitian ini, belum dapat dibuktikan mempengaruhi kejadian persalinan prematur.Pada umumnya responden dalam penelitian ini mengkonsumsi obat – obatan selama kehamilan masih terkait dengan anjuran medis. Sehingga obat yang dikonsumsi masih tergolong aman bagi janin dan bayi yang dilahirkan. Berbeda dengan kondisi di Amerika, dewasa ini diperkirakan 2-3 % wanita hamil memerlukan obat karena berbagai kondisi yang dialami. Misalnya hipertensi, kencing manis, epilepsi, dan asma. Berdasarkan kajian literatur, di Amerika diperkirakan sekitar 7 – 15% ibu hamil menggunakan obat tanpa melalui ketentuan medis (
12).Penutup. Ucapan terima kasih kepada, Siti Kurniati yang telah dengan tekun mengumpulkan data di RS St. Fatimah Makassar. Terima kasih juga kepada pihak RS St.Fatimah yang memberi kesempatan untuk menggunakan data rekam medik untuk kebutuhan penelitian ini. Terima kasih juga kepada sejawat di Jurusan Epidemiologi FKM Unhas yang telah mereview artikel ini untuk dipublikasi.
IV. SIMPULAN DAN SARANA.

SimpulanDari hasil penelitian ini faktor risiko kejadian persalinan permatur di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar tahun 2006 dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Ibu hamil yang mengalami anemia selama mengandung berpeluang mengalami persalinan prematur 2,375 kali lebih besar dibanding dengan ibu hamil yang tidak anemia.
  2. Ibu hamil yang mengalami emesis gravidarum selama mengandung berpeluang mengalami persalinan prematur 2,605 kali lebih besar dibanding dengan ibu hamil yang tidak emesis.
  3. Ibu hamil yang terpapar rokok selama hamil berpeluang 3,719 kali lebih besar untuk melahirkan prematur dibanding dengan ibu hamil yang tidak terpapar rokok.
  4. Faktor risiko keterpaparan obat dalam penelitian ini, belum dapat dibuktikan mempengaruhi kejadian persalinan prematur.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti menyarankan :

  1. Disarankan pada pemerintah
    kota untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat khususnya pada kaum pria untuk merubah perilaku mengkonsumsi rokok
  2. Disarankan pada ibu – ibu hamil untuk menjaga kesehatan tubuh terutama masalah kecukupan gizi dan diupayakan untuk tidak stres lebih khusus selama proses kehamilan.
  3. Disarankan pada ibu – ibu yang mempunyai keluarga yang merokok untuk mengingatkan dan menasehati keluarganya yang merokok tersebut untuk berhenti merokok, minimal kalaupun merokok untuk tidak merokok didekat ibu yang sedang mengandung sehingga ibu terhindar dari paparan asap rokok
  4. Disarankan pada ibu hamil tidak mengkonsumsi obat yang tidak terkait dengan anjuran medis selama proses kehamilan, dan kalupun mengkonsumsi obat tidak dapat dihindari lagi, mungkin karena alasan sakit, maka disarankan memilih obat yang memiliki efek yang tidak mempengaruhi kandungan atau memiliki efek mengganggu kandungan yang sangat minimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes

, RI.
Indonesia Sehat 2010.
2. Pancawati Erni. 2002. “Hubungan Antara Perawatan Post Natal dengan Kesehatan Bayi Prematur”. FK. Unhas.
Makassar.
3. BPS ; Depkes Sulsel, 2005. Profil kesehatan sulsel,4. Okki Syahbana, 2001. Pengaruh rokok terhadap kesehatan, Jakrta.5. Buletin primagama Vol.1 edisi 2 Juli-Agustus 19996. Journal of Health hand social behavior, 2001.7. Lameshow Standley dkk. 1997. “Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan “Gadjah Mada University Press”
Yogyakarta.
8. Bustan M.N., 1997. “Pengantar Epidemologi”, FKM Unhas. Makassar.9. Bahar. 2003. “Analisis Faktor Risiko BBLR di Rumah Sakit Bersalin Sungguminasa Kab. Gowa. Tesis Program Pasca Sarjana Unhas. Makassar. 10. Anggereani Sakia. 203. Faktor risiko BBLR di PKM Kassi-Kassi. PPS Unhas.11. Makkaraus. 2004. “Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RS Stella Maris dan RSIA Catherina Booth Makassar. Tesis Program Pasca Sarjana Unhas. Makassar. 12. Pritchard, Gant MacDonald. 1991. “Obstetrik Williams” Edisi ke 17, PT. Airlangga University Press. Jakarta.

Juli 12, 2008 Posted by | karya tulis ilmiah, KTI | Tinggalkan komentar